Bandung – Ahad (25/10), HTI Kota Bandung menyelenggarakan acara kajian kesyariatan untuk publik yang disebut Dirasah Syar’iyyah ‘Ammah yang mengambil tema “Pentingnya Aspek Ruhiyah dalam Pembangunan Kota/Kabupaten” di Kantor HTI Jawa Barat. Hadir sebagai pembicara, ustadz Eri Taufiq Abdulkariim, Pimpinan Majelis Insoiring Al Qur’an dan ustadz Yuana Ryan Tresna, DPD II HTI Kota Bandung.
Eri Taufiq sebagai pembicara pertama menyampaikan tentang amal al-insan
atau prisip dasar dalam aktivitas manusia termasuk dalam pengambilan kebijakan.
Konsep itu dirinci terdiri dari input, proses, output dan outcomes . Input (quwwah al-amal), kekuatan
yang mendorong manusia beramal. Selain
ada kekuatan materi dan maknawi, juga ada kekuatan spiritual. Kekuatan spiritual inilah yang paling
penting bagi seorang muslim. Hal inilah yang harus diperhatikan dalam suatu kebijakan
pembangunan. Proses (ihsan
al-amal), syarat amal yang harus terpenuhi. Selain aspek kausalitas, ada dua perkara yang
sangat penting yaitu ikhlas dalam niat dan kesesuain dengan syariat.
Pembangunan yang hanya berorientasi pada kausalitas dan meninggalkan syariat
maka amalnya tertolak. Output (qimah al-amal), nilai amal perbuatan yang
harus dicapai. Ada beberapa nilai yang manusia ingin capai seperti nilai
materi, nilai akhlaq, nilai kemanusiaan, juga nilai spiritual. Pembangunan
tidak boleh hanya menekankan pada capaian-capaian materi tapi melupakan nilai kemanusiaan,
akhlak dan spiritual. Adapun outcomes (ghayah al-amal), adalah tujuan perbuatan
manusia. Bagi seorang muslim, tujuan perbuatan adalah ridha Allah SWT. Demikian
juga, setiap pengambilan kebijakan pembangunan Kota dan Kabupaten seharusnya berorientasi
pada outcome tercapainya ridha Allah SWT.
“Peradaban Islam itu dibangun dengan kekuatan spiritual, berbeda dengan
peradaban komunis dan sekular-kapitalis”, tegasnya. Eri Taufiq juga
menambahkan, “Hukum asal perbuatan manusia terikat dengan hukum syariat (perintah dan larangan Allah). Bukan
didasarkan pada kemaslahatan, pandangan publik dan expert saja.” Terkait dengan
tujuan perbuatan manusia, kebijakan pembangunan itu harus bertujuan mendapatkan
ridha Allah SWT, ampunan dan surga-Nya. “orientasi hanya untuk mencapai tujuan
harta dan syahwat adalah tujuan aktivitas orang jahiliyah sebagaimana yang
digambarkan dalam al-Qur’an”, pungkasnya.
Pembicara kedua menjelaskan tentang konsep maqashid al-syari’ah dalam
dalam Ummah Development Index (Indeks Pembangunan
Umat) sebagai indikator keberhasilan dan kegagalan pembangunan. Pembangunan
dari perspektif barat hanya tertumpu kepada konsep materi. Aqidah sekular
menafikan peranan agama dalam konsep pembangunan. Agama dianggap penghambat
sebuah pembangunan. “Teori
pembangunan Islam yang meletakkan manusia sebagai fokus. Manusia mempunyai
tugas dan tanggungjawab terhadap Penciptanya. Oleh itu Pembangunan Islam
mencakup pembangunan materi (madaniyah) dan peradaban (hadharah
yang didasarkan aqidah tertentu)”,
jelasnya. Yuana juga menyinggung pembangunan Kota Bandung yang hanya membangun
materi, bukan membangun peradaban.
Allah SWT berfirman yang artinya, “Tiadalah Kami mengutus engkau
(Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta” (QS al-Anbiya’ [21]: 107). Menurut Yuana, makna ar-rahmah dalam ayat tersebut berkaitan dengan penerapan
syariah Islam kâffah dalam kehidupan sebagai tuntutan akidah
Islam yang diemban oleh Rasulullah saw. Syariah Islam secara kaffah akan
mewujudkan kemaslahatan. Kaidah syar’iyyah menyebutkan, “Di mana
pun tegak syariah maka akan ada kemaslahatan”. Yuana juga mendeskripsikan indikator
kemaslahatan dalam kerangka Maqashid al-Syariah. Dengan indikator
penjagaan terhadap agama, diri, akal, harta dan keturunan/kehormatan, Yuana
menilai bahwa Islam memberikan jaminan akan terwujudnya tujuan tersebut.
Jaminan tersebut tercermin dalam aturan atau syariat Islam. “Maqashid
syariah adalah kemaslahatan dimana keberadaannya adalah hikmah (akibat) penerapan syariat. Maqâshid
al-syar‘iah adalah tujuan dari syariat sebagai keseluruhan”, terangnya lagi.
Para pembicara sama-sama mengutip firman Allah SWT yang artinya,
“Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu sehingga Kami menyiksa mereka karena perbuatan
yang mereka lakukan (QS al-A’raf [7]: 96).”
Sebagai kesimpulan, diketahui bahwa indikator berhasil dan gagalnya
pembangunan adalah: (1) Apakah aturan yang ditegakkan bersumber dari keyakinan dan ketaatan pada
Allah SWT?; dan (2) Apakah aturan yang ditegakan memberikan jaminan terwujudnya kemaslahatan
manusia (maqashid syariah) yang akan berbuah kesejahteraan dan kebahagiaan?
Para peserta begitu antusias. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya peserta
yang melontarkan tanggapan dan pertanyaan kepada para pembicara. Salah
satu peserta memberikan
apresiasi dalam acara ini. “Harus ada diagnosis baru dan itu
disampaikan kepada Pemerintah Kota. Tentu saja lab sayi’ah akan berbeda
dengan kalau pakai lab hasanah. Standarnya harus aqidah”, tegasnya. Acara pun diakhiri dengan doa oleh
pemandu acara. [bdg.news]