“Orientasi pembangunan
harus dengan dasar aspek ruhiyah (spiritualitas), keimanan dan ketaatan kepada
Allah. Menyatukan antara pembangunan materi (fisik) dan ruh (spiritual),
sehingga bermakna-berpahala dan bernilai-bermanfaat,” ujar Ketua Tim Perumus
Konsep Bandung Barokah Yuana Ryan Tresna dalam
rangka public expose konsep
dan peta jalan Bandung Barokah (3/8) di RM. Sindang Reret Bandung.
Selain
hal tersebut, ada tiga rekomendasikan lain dari HTI Bandung yaitu: Pertama, secara teknis,
memberikan jaminan kemaslahatan publik (pokok [dharuriyyat], kemudahan [hajiyyat]
dan kesempurnaan [tahsiniyyat]) dengan prinsip maqashid syariah,
dan ummah development index sebagai konsep turunannya. Kedua, masalah
politik ekonomi seperti politik ekonomi pembangunan dengan skema PPPs harus
ditinjau kembali. Pembangunan harus berorientasi pada kemaslahatan publik dan
keterikatan pada hukum syariah. Ketiga, harus memberikan perhatian
serius pada masalah liberalisasi sosial budaya, seperti pergaulan bebas remaja
dan perlindungan pada kehormatan perempuan dan keluarga,
penyelamatan generasi, penguatan fungsi dan struktur keluarga, dan membangun budaya amar
makruf nahi munkar.
Dalam
acara yang dihadiri oleh awak media dan beberapa tokoh tersebut, tim perumus
Bandung Barokah menyoroti sembilan isu strategis, yaitu:
1. Dengan konsep smart city (dan turunannya seperti Bandung Teknopolis), Bandung sedang membangun aspek
materi (madaniyah) dan belum
serius dalam pembangunan
peradaban (hadharah) dari akar aqidah masyarakatnya.
2. Inovasi sosial telah memberikan
“kepuasaan” asumtif bagi warga dengan nilai kesenangan dan kesukacitaan yang
relatif. Inovasi ini termasuk yang paling dipromosikan dan disambut baik oleh banyak kalangan.
3. Kolaborasi telah membuka ruang
kerjasama dengan banyak pihak termasuk swasta dalam membangun negara dengan konsep public
private partnership (PPPs). Keterbatasan APBN/D dan kapasitas international network RK telah
berhasil menarik banyak perusahaan (PPPs, investasi dan CSR) baik lokal maupun
asing, sehingga makin terbukanya jalan bagi swasta untuk masuk
dalam pembangunan infrastruktur layanan publik.
4. Gagasan smart city bukan hanya berbicara
ICT untuk public service yang bebas nilai, tetapi berpotensi membawa banyak nilai dari negara asalnya, paling tidak
yang paling menonjol adalah perspektif bisnis dalam layanan publik.
5. Impor happiness index tidak
memberikan gambaran utuh tentang kebahagiaan dan bukan ukuran tiap individu.
Kebahagiaan ditafsirkan dengan kesenangan dan kesukacitaannya (bukan ketenangan
dan keridhoan). Ada pergeseran indikator pembangunan dari standar “sejahtera”
menjadi “bahagia”; dan menggeser kebahagiaan dari yang hakiki menjadi
kebahagiaan nisbi dan asumtif.
6. Ada beberapa program yang
baik (bantuan rakyat miskin, maghrib mengaji, dakwah di angkot, ayo
membayar zakat, dll) tetapi belum menunjukan orientasi
pembangunan, program tersebut belum komprehensif dan tidak kompatibel
dengan keran kebebasan berekspresi yang justru diberikan ruang secara terbuka.
7. Rencana program
kurikulum “Bandung Masagi” masih perlu deskripsi, karena masih berupa
gagasan filosofis. Bandung Masagi meliputi 4 basis: agama,
bela negara, budaya sunda, dan cinta lingkungan.
8. Walikota masuk dalam
dikotomi Islam moderat-radikal, sehingga berpotensi memecah belah umat. Padahal
Islam adalah satu model sebagaimana yang digambarkan dalam al-Qur’an. Pembedaan
menjadi liberal, moderat, radikal, dst tidak dikenal dalam Islam.
9. Bandung sesungguhnya masih banyak masalah (pergaulan bebas, prostitusi,
miras, kriminalitas, kemacetan, transportasi publik, pemerataan pendapatan, banjir
jalanan, dll). Hal semacam ini urgen mendapat perhatian serius.