Soal Demokrasi, Pengurus HTI Kota Bandung: Jawaban kang Emil Tidak Mendidik
Bdg.News,
Bandung. Di media sosial,
ramai diperbincangkan jawaban Ridwan Kamil (akrab disapa Emil) soal demokrasi
saat merespon pernyataan salah seorang netizen. Walikota Bandung melalui akun
twitternya tengah berbicara soal bahaya penerapan demokrasi jika masyarakat
tidak siap. Seorang netizen berujar, “maka dr itu, jangan ikut demokrasi,
karena bukan hukum islam, bertentangan dengan agama”. Emil membalas dengan
mengatakan, “makanya tipe kamu pindah negara saja. Karena negeri ini
kesepakatannya adalah demokrasi. Nuhun.” Pernyataan tersebut kemudian di-capture dan
mendapat respon yang beragam. Berikut ini wawancara dengan salah satu pengurus HTI Kota Bandung,
Yuana Ryan Tresna, dimana HTI dikenal sebagai kelompok yang anti demokrasi:
Ustadz, apakah
menyimak cuitan kang
Emil di akun twitternya soal demokrasi?
Sejujurnya
awalnya saya tidak tahu karena akhir-akhir ini jarang buka twitter, tapi
kemudian capture cuitan tersebut menyebar begitu cepat di media sosial,
dan akhirnya saya tahu dan
ikut mengamati.
Bagaimana
menurut ustadz dengan jawaban tersebut, mengingat mendapat respon negatif juga
dari sebagian netizen, khususnya kalangan aktivis Islam?
Ya cukup
disesalkan. Kang Emil itu pintar, tapi khusus untuk jawaban ini kurang cerdas,
jawaban yang tidak mendidik. Mengapa? Karena logika semacam itu mudah sekali dibalas sebagaimana
rangkaian dalam perdebatan di twitter tersebut. Jika tidak sepakat demokrasi
dipersilahkan meninggalkan Indonesia, bagaimana dengan logika yang sama, jika tidak sepakat hukum Allah maka
dipersilahkan meninggalkan bumi Allah Swt. Menurut saya, harusnya jawabannya
tidak begitu, tidak boleh paranoid dengan isu agama dan negara. Usaha
menjauhkan agama dari lingkaran kekuasaan adalah ciri pemikiran sekular.
Tapi kan
benar kalau demokrasi itu sudah jadi kesepakatan di negeri ini?
Ada beberapa hal
yang kita bisa jelaskan: Pertama, dasar negara ini bukan demokrasi. Silahkan Anda rujuk
pada pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945, apakah disebutkan demokrasi? Kedua,
negeri ini sejak awal kemerdekaannya mengakui prinsip ketuhanan, bahkan dalam
Piagam Jakarta-sebelum dihapus- jelas bahwa syariat Islam menjadi aturan yang
mengikat umatnya. Negeri ini juga merdeka oleh darah para mujahid yang mereka itu
dari kalangan ulama dan para santri.
Di Pembukaan UUD 1945 bahkan diakui, “Atas berkat rahmat Allah...” dst. Ketiga,
meski demikian memang negeri ini pada praktiknya dijalankan dengan sistem demokrasi
yang berasaskan sekularisme. Hemat saya, ini problemnya. Atas dasar kesepakatan siapa? Wakil rakyat? Rakyat
yang mana? Bukankah wajah demokrasi juga berbeda-beda sejak masa Orde Lama,
Orde Baru, hingga Orde Reformasi? Sekularisme sebenarnya cocok diterapkan di Barat ketika memang agama
tidak mengatur sistem kehidupan seperti masalah pemerintahan. Di dalam Islam, sekularisme harus ditolak, karena Islam adalah sistem kehidupan yang
lengkap, dimana relasi/hubungan agama-negara adalah harmonis, bagai dua sisi
mata uang. Begitulah Imam al-Ghazali berujar. Adanya agama adalah untuk menjadi
pondasi negara, dan adanya negara sebagai institusi penyelenggara hukum agama
(Islam). Keempat, jika sebuah sistem hukum dimaksudkan
untuk menjamin terwujudnya tujuan bernegara, maka demokrasi gagal mewujudkan
itu. Demokrasi pada nyatanya adalah pemerintahan yang tunduk pada modal (bukan mayoritas
rakyat), karena berdemokrasi itu
mahal. Maka pada konteks inilah kepentingan penguasa dan pengusaha menjadi
selaras. Akibatnya dilihat dari sudut pandang ekonomi saja, kesejahteraan
rakyat masih sangat jauh. Kesenjangan makin lebar. Belum lagi kekayaan negeri
ini juga tidak dinikmati oleh pemilik sah negeri ini. Jadi jika demokrasi tidak bisa mewujudkan tujuan bernegara, untuk apa masih
bersikeras mempertahankan sistem demokrasi. Mari kita berpikir dengan kepala
dingin, dan berpikir out the box, bahkan without the box.
Jadi Islam
juga bicara masalah politik?
Ya jelas sekali. Tentu saja. Secara lebih spesifik pengertian
politik di dalam Islam didiskripsikan di dalam kitab Mu'jam Lughah al-Fuqaha'
dengan, "Pemeliharaan terhadap urusan umat baik di
dalam negeri maupun di luar negeri sesuai dengan syariah Islam".
Pertanyaannya, mengapa muncul fenomena yang
mencoba memisahkan Islam dengan politik, dan
Islam 'dikarangkeng' dengan hanya sebatas ibadah mahdhah dan
moral? Ini bukan hal baru. Latar
belakangnya? Paling tidak ada dua hal. Pertama, propaganda
sekularisasi yang dilakukan oleh Barat di dunia Islam baik secara langsung
maupun tidak langsung, melalui ghazwul fikri (serangan pemikiran) yang diikuti dengan ghazwul 'askari (serangan militer) dan ghazwu
as-siyasi (serangan politik). Harapannya? Tentu agar umat Islam memperlakukan Islam layaknya
mereka memperlakukan agama Kristen. Mereka telah bekerja sangat keras untuk
mengupayakan hal itu. Kongkritnya mereka mengupayakan secara sangat sistematis
dan sophisticated untuk menjauhkan kaum muslim dengan Islam, dengan cara
menjauhkan mereka dengan sumber Islam, yakni Al-qur'an dan As-sunnah. Kedua, karena tiadanya
gambaran yang clear tentang Islam, khususnya sistem
pemerintahan dan sistem ekonomi. Malah bisa dikatakan bahwa gambaran sistem pemerintahan, serta
sistem ekonomi dalam Islam tersebut telah lama lenyap dari benak sebagian besar
kaum Muslim. Mengapa? Ini erat kaitannya dengan proses kajian terhadap Islam
yang berlangsung selama ini. Kondisi ini semakin diperparah dengan
'keterlibatan' langsung Barat dalam menyusun kurikulum pendidikan agama yang
berlaku di sekolah maupun di perguruan tinggi di negeri-negeri
Islam.
Mengapa HTI
menentang demokrasi?
Dasarnya akidah
dan hukum syariah Islam. Tapi
jangan salah apa yang dimaksud dengan demokrasi. Jangan sampai kita
membicarakan satu istilah yang sama untuk merujuk pada fakta yang berbeda, atau
masing-masing punya gambaran fakta yang berbeda. Ini akan sangat fatal. Demokrasi itu bukan soal keterbukaan,
pemilihan pemimpin dan musyawarah. Mari kita kembalikan pada definisi asalnya
bahwa demokrasi –menurut Abraham Lincoln- adalah pemerintahan dari, oleh dan
untuk rakyat. Dari sini bahwa ada dua esensi demokrasi: kedaulatan dan kekuasaan rakyat. Yang jadi soal adalah
kedaulatan –meski aspek kekuasaan juga memiliki beberapa perbedaan pokok antara
kekuasaan dalam Islam dengan demokrasi.
Kedaulatan rakyat artinya menjadikan rakyat (manusia/kumpulan manusia)
sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam membuat hukum. Inilah masalahnya. Persoalannya terletak pada akidah. Islam menempatkan
otoritas pembuat hukum adalah pada Sang Pembuat Hukum yakni Allah Swt. Selain itu, demokrasi juga memiliki prinsip
kebebasan, baik kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan maupun
bertingkah-laku. Prinsip kebebasan ini juga bertentangan secara diametral
dengan syariah Islam.
Tapi kan
umat belum siap dengan syariah Islam?
Apa tolok ukurnya
sehingga dikatakan belum siap? Harus ada indikator yang jelas. Dan kalau memang
belum siap berarti harus disiapkan, bukan malah ditakut-takuti. Kan kang Emil
juga dalam ungkapannya mengatakan terkait bahaya penerapan demokrasi jika
masyarakat tidak siap. Hari ini terlepas siap atau tidak, tetap saja demokrasi
dipaksakan.
Jadi bagaimana menyuarakan suatu gagasan padahal hari ini kesepakatan negeri kita bukan
syariah Islam?
Apakah tidak
boleh atau tertutup untuk kita mengajukan konsensus baru? Saya kira ini masalah
kehendak. Kehendak umat. Jika umat dan para tokohnya sepakat dengan kehendak
baru, maka itulah konsensus baru. Negara Indonesia juga kan berkembang dari masa ke masa, dari pra kemerdekaan
hingga pasca kemerdekaan. Sudah mencoba berbagai sistem kenegaraan. Jadi kalau
bicara sistem negara ya rileks saja tidak usah terlalu tegang, toh
sebenarnya tidak ada yang final. Ini soal konsensus saja. Dan kalau soal
konsensus adalah bicara tawaran kehendak tadi itu. Dakwah itu bukan pemaksaan
kehendak, tapi ikhtiar menawarkan kehendak, agar menjadi kehendak bersama.
Apakah kalau punya kehendak
lain salah? Tentu saja tidak. Faktanya kan para “penjaja” kehendak (da’i) tadi tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum. Bicara saja kan
tidak dilarang toh. Inilah esensi dakwah.
Jadi pesan
ustadz ke Pak Ridwan Kamil?
Kang Emil ini
adalah aset umat. Harus menjadi representasi umat. Membangun negara/kota harus
kembali merujuk pada akidah yang beliau anut dan akar
akidah rakyatnya. Terlebih kita mayoritas muslim, maka pondasinya harus akidah
Islam. Kalau ada suara-suara yang menginginkan Islam seharusnya didukung.
Kalaupun ternyata tidak,
tetap harus diberi ruang, jangan paranoid dengan politik Islam.
Dengan definisi politik seperti yang tadi (pengurusan umat dengan cara
Islam), maka fokus aktifitas politik adalah ri'ayah (pengaturan/pegurusan) yang
dilakukan oleh penguasa terhadap masyarakat, dan kontrol terhadap pengurusan tersebut. Subyek pertama adalah penguasa, dan yang kedua adalah masyarakat. Sebagaimana firman Allah SWT dalam
surah Ali Imran ayat 104.
Terakhir, paparan singkat ini sebenarnya sudah
lebih dari cukup bagi kita untuk menegaskan kembali bahwa politik di dalam
Islam adalah hal yang ma'lumun min al-din bi al-dharurah (perkara yang
diketahu merupakan bagian penting dari agama). Banyak nash baik dalam al-Qur'an
maupun al-Sunnah yang menegaskan hal yang sama. Dalam surah al-Nahl ayat 89,
ditegaskan,
ÙˆَÙ†َزَّÙ„ْÙ†َا عَÙ„َÙŠْÙƒَ
الْÙƒِتَابَ تِبْÙŠَانًا Ù„ِÙƒُÙ„ِّ Ø´َÙŠْØ¡ٍ ÙˆَÙ‡ُدًÙ‰ ÙˆَرَØْÙ…َØ©ً ÙˆَبُØ´ْرَÙ‰
Ù„ِÙ„ْÙ…ُسْÙ„ِÙ…ِينَ
Ibn Mas'ud ra menjelaskan, sebagaimana dikutip
oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya,
"Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan
semua hal". Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Qur'an telah
menjelaskan semua hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan
bernegara dan bermasyarakat.
[] Tris