Menindaklanjuti tulisan
opini sebelumnya, berikut akan saya sajikan solusi Islam atas maraknya kasus kekerasan
seksual terhadap anak, sebagaimana yang ditulis oleh Arini Retnaningsih (Lajnah Tsaqofiyah MHTI) dalam
tulisannya yang berjudul “Darurat Kekerasan Seksual Pada Anak: Di Mana
Tanggung Jawab Negara?”
1. Dalam masalah ekonomi, Islam mewajibkan negara menyediakan
lapangan kerja yang luas agar para kepala keluarga dapat bekerja dan memberikan
nafkah untuk keluarganya. Semua sumberdaya alam strategis adalah milik umat
yang dikelola negara. Negara berkewajiban mendistribusikan seluruh hasil
kekayaan negara untuk kesejahteraan warganegara, baik untuk mencukupi kebutuhan
pokok, kesehatan, maupun pendidikan. Dengan jaminan seperti ini, para ibu tidak
perlu bekerja sehingga bisa berkonsentrasi menjalankan tugas utamanya mendidik,
memantau dan menjaga anak-anaknya.
2. Negara tidak membiarkan adanya anak-anak yang terlantar seperti
anak-anak jalanan yang rentan menjadi korban pedofilia. Negara punya kekuatan
untuk memaksa orang yang wajib mengasuh anak bila mampu. Bila tidak mampu,
negara wajib mencarikan pengasuh yang mau bertanggung jawab, atau negara
menampung dan mendidik mereka dalam rumah-rumah khusus anak yatim dan anak
terlantar.
3. Negara wajib menjaga suasana taqwa terus hidup di tengah
masyarakat. Negara membina warganegara sehingga mereka menjadi manusia yang
bertaqwa dan memahami hukum-hukum agama. Pembinaan dilakukan baik di sekolah,
di masjid, dan di lingkungan perumahan. Dalam hal ini, negara mencetak para
ulama dan menjamin kehidupan mereka sehingga mereka bisa berkonsentrasi dalam
dakwah.
Ketaqwaan individu
akan menjadi pilar pertama bagi pelaksanaan hukum-hukum Islam. Individu
bertaqwa tidak akan melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Orangtua
juga paham hukum-hukum fiqh terkait dengan anak sehingga bisa mengajarkan anak
hukum Islam sedari kecil, seperti menutup aurat, mengenalkan rasa malu,
memisahkan kamar tidur anak, dan sebagainya.
Dakwah Islam juga akan
mencetak masyarakat yang bertaqwa. Masyarakat bertaqwa bertindak sebagai
kontrol sosial untuk mencegah individu melakukan pelanggaran. Jadilah
masyarakat sebagai pilar kedua dalam pelaksanaan hukum syara’.
4. Negara mengatur mekanisme peredaran informasi di tengah
masyarakat. Media massa di dalam negeri bebas menyebarkan berita. Tetapi mereka
terikat dengan kewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga aqidah
dan kemuliaan akhlak serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat. Bila ada
yang melanggar ketentuan ini, negara akan menjatuhkan sanksi kepada penanggung
jawab media.
Untuk media asing,
konten akan dipantau agar tidak memasukkan pemikiran dan hadharah (peradaban)
yang bertentangan dengan aqidah dan nilai-nilai Islam. Dengan mekanisme ini,
pornografi, budaya kekerasan, homoseksualisme dan sejenisnya dicegah untuk
masuk ke dalam negeri.
5. Negara mengatur kurikulum sekolah yang bertujuan membentuk
kepribadian Islam bagi para siswa. Kurikulum ini berlaku untuk seluruh sekolah
yang ada di dalam negara, termasuk sekolah swasta. Sedangkan sekolah asing
dilarang keberadaannya di dalam wilayah negara.
6. Negara membuat aturan pergaulan antara laki-laki dan perempuan
di masyarakat berdasarkan hukum-hukum syara’. Aturan ini bertujuan mengelola
naluri seksual pada laki-laki dan perempuan dan mengarahkannya untuk mencapai
tujuan penciptaan naluri ini yaitu melahirkan generasi penerus yang
berkualitas. Karena itu, pernikahan dipermudah, bahkan negara wajib membantu
para pemuda yang ingin menikah namun belum mampu secara materi.
Sebaliknya, kemunculan
naluri seksual dalam kehidupan umum dicegah. Laki-laki dan perempuan
diperintahkan untuk menutup aurat, menahan pandangan, menjauhi ikhtilat
(interaksi laki-laki dan perempuan) yang diharamkan, dan seterusnya. Dengan
metode ini, aurat tidak dipertontonkan dan seks tidak diumbar sembarangan.
Terbiasanya orang melihat aurat perempuan dan melakukan seks bebas, akan
membuat sebagian orang kehilangan hasrat seksnya dan mereka membutuhkan sesuatu
yang lain untuk membangkitkannya. Muncullah kemudian penyimpangan seksual
seperti pedofilia, homo dan lesbi. Inilah yang dihindarkan dengan penerapan
aturan pergaulan sosial dalam Islam.
7. Negara menjatuhkan hukuman tegas terhadap para penganiaya dan
pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Pemerkosa dicambuk 100 kali bila belum
menikah, dan dirajam bila sudah menikah. Penyodomi dibunuh. Termasuk juga
melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan dikenai denda 1/3 dari 100 ekor
unta, atau sekitar 750 juta rupiah, selain hukuman zina (Abdurrahman Al Maliki,
1990, hal 214-238). Dengan hukuman seperti ini, orang-orang yang akan melakukan
kekerasan seksual terhadap anak akan berpikir beribu kali sebelum melakukan
tindakan.
8. Anak-anak yang menjadi korban sodomi akan direhabilitasi dan
ditangani secara khusus untuk menghilangkan trauma dan menjauhkan mereka dari
kemungkinan menjadi pelaku pedofilia baru nantinya.
9. Negara mencegah masuknya isme dan budaya yang bertentangan
dengan Islam atau membahayakan kehidupan masyarakat seperti liberalism,
sekulerisme, homoseksualisme dan sejenisnya dari saluran mana pun. Media massa,
buku, bahkan orang asing yang masuk sebagai turis atau pedagang dilarang
membawa atau meyebarkan hal tersebut. Bila mereka melanggar, dikenakan sanksi
berdasarkan hukum Islam.
Penerapan hukum secara
utuh ini akan menyelesaikan masalah kekerasan terhadap anak secara tuntas.
Anak-anak dapat tumbuh dengan aman, menjadi calon-calon pemimpin, calon-calon
pejuang dan calon generasi terbaik.
Namun, yang mampu
menjalankan fungsi dan tanggung jawab seperti di atas, tidak lain hanyalah
negara yang menerapkan sistem Islam secara utuh, yaitu Daulah Khilafah
Islamiyyah.
Wallahu’alam