Istilah kesejahteraan keluarga lebih dulu popular dibandingkan dengan
ketahanan keluarga. Kesejahteraan keluarga (family
well-being) atau kesejahteraan rumah tangga (household well-being) dipopulerkan oleh para ahli ekonomi yang
fokus pada unit rumahtangga atau unit keluarga (family economist) di awal abad 19. Sedangkan istilah ketahanan
keluarga (family strength or resilience)
dipopulerkan oleh ahli ilmu keluarga (family
studiest) sejak tahun 1930an di Amerika Serikat sebagai reaksi untuk
menanggulangi dampak dari great
depression era. Adapun di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52
Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Pada
Pasal 1 Ayat 11 dijelaskan pengertian ketahanan dan kesejahteraan keluarga dalam
satu definisi yang sama yaitu ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi
keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan
fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk
hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.
Peradaban kapitalis-neolib berusaha
membangun ketahanan keluarga dengan program-program yang justru mereduksi
ketahanan keluarga. Sementara peradaban Islam terbukti selama berabad-abad
berhasil membangun tatanan keluarga yang kokoh, sejahtera, dan melahirkan
generasi yang cemerlang. Berikut ini akan dipaparkan perbandingan antara
Peradaban Kapitalis-Neolib dengan Peradaban Khilafah-Islam dalam membangun
ketahanan dan kesejahteraan keluarga. Perbandingan dilakukan terhadap paradigma
masing-masing tentang ketahanan ekonomi keluarga, mekanisme mewujudkan, program
yang dijalankan dan bagaimana dampak kerusakan atau keberhasilannya.
A.
PARADIGMA
MEMBANGUN KETAHANAN EKONOMI KELUARGA
Peradaban kapitalis-neolib membuat
negara abai dari tanggung jawabnya dengan mereduksi fungsinya hanya sekedar
pembuat regulasi dan bukan sebagai penanggung jawab penuh dalam mewujudkan
ketahanan keluarga. Negara berposisi sebagai tujjar (pebisnis) yang selalu
berhitung untung-rugi setiap melakukan proses pelayanan terhadap kebutuhan
rakyatnya.
Negara dalam peradaban kapitalis-neolib telah melemparkan tanggung
jawabnya untuk melayani rakyat. Pemenuhan kebutuhan pokok individu (pangan,
sandang, papan) dan kebutuhan pokok massal (pendidikan, kesehatan) bertumpu
pada keluarga secara mandiri. Jika pendapatan seorang kepala keluarga tidak
mencukupi, maka pendapatan keluarga harus ditopang oleh anggota keluarga yang
lain, terutama perempuan. Tanpa disadari, hal ini berdampak pada menurunnya
rasa tanggung jawab pada laki-laki untuk melindungi dan mengayomi perempuan.
Laki-laki di era kini memandang perempuan adalah mitra pesaing dalam usahanya
mengakses aktifitas perekonomian. Perempuan pun tanpa mereka sadari telah
dirampok waktunya yang sangat berharga untuk bersama buah hatinya menyiapkan
mereka menjadi generasi cemerlang.
Sementara Islam
membangun ketahanan ekonomi keluarga dengan strategi utama menjadikan laki-laki
sebagai pencari nafkah. Strategi ini berhasil dengan baik. Pembagian peran yang
jelas membuat fokus aktifitas bisa dilakukan secara baik. Sekaligus jika ada
pihak yang mengabaikan perannya, maka proses koreksi dan perbaikan bisa
dilakukan dengan mudah. Negara
terlibat langsung dalam melayani dan mengurus rakyatnya. Negara berposisi
sebagai ro’in (pengayom, pelindung). Bukan hanya sebagai regulator yang
berperan membuat regulasi (aturan) semata. Jika ada satu orang saja yang tidak
terurusi dengan baik kebutuhannya, maka Khalifah adalah penanggung jawab
utamanya. Hal ini dimungkinkan terjadi, karena parameter kesejahteraan dalam
peradaban Islam bisa dilihat siapapun. Ukuran kesejahteraan dalam Islam adalah
terpenuhinya semua individu rakyat atas semua kebutuhan pokok pribadi (sandang,
pangan, papan) dan kebutuhan pokok massal (pendidikan, kesehatan, keamanan).
Lain halnya dengan
peradaban kapitalis-neolib yang mengukur tingkat kesejahteraan dengan
angka-angka yang abstrak, dengan standar penilain rata-rata yang juga bisa
berubah-ubah ukurannya. Sehingga peradaban ini bahkan untuk sekedar mengukur
kesejahteraan saja tidak memiliki alat ukur yang valid , lalu bagaimana mungkin bisa mewujudkannya.
Tabel Paradigma Ketahanan Ekonomi Keluarga
Peradaban
Demokrasi Kapitalis-neolib
|
Peradaban
Khilafah Islam
|
|
Paradigma tentang negara
|
Negara sebagai tujjar (pebisnis) terhadap
rakyatnya
|
Negara sebagai ro’in (pengayom, pelindung,
pengurus) rakyatnya
|
Ukuran ketahanan dan kesejahteraan keluarga
|
Ukuran ketahanan dan kesejahteraan
keluarga: parameter pendapatan perkapita.
|
Ukuran kesejahteraan keluarga adalah per
individu, bisa memenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia . Terpenuhi
kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan.
|
Peran keluarga
|
Tidak ada strategi utama sumber nafkah
keluarga
|
Strategi utama: setiap laki-laki wajib
bekerja dan menafkahi tanggungannya secara layak.
|
Peran negara
|
--- (tidak ada)
|
Memastikan tidak ada laki-laki (sumber
pencari nafkah) yang menganggur
|
B.
MEKANISME
KETAHANAN EKONOMI KELUARGA
Peradaban kapitalis-neolib
menjadikan laki-laki dan perempuan
berkontribusi sama dalam menghasilkan pendapatan keluarga (tidak ada strategi
pencari nafkah utama). Sedangkan posisi negara dalam mengatur pemenuhan
kebutuhan pokok keluarga adalah sekedar
sebagai regulator saja, membuat paket-paket kebijakan yang mendorong perempuan
ikut menambah pemasukan pendapatan keluarga. Adapun peran negara dalam memenuhi
kebutuhan pokok massal (pendidikan, kesehatan, keamanan) adalah dengan
memprivatisasi layanan pendidikan dan kesehatan karena keterbatasan keuangan
negara. Akibatnya, layanan pendidikan dan kesehatan menjadi pos yang banyak
menyerap belanja keluarga.
Sejatinya, masyarakat membutuhkan
peran aktif negara untuk mengurus dan melayani mereka membangun ekonomi
keluarga yang kokoh. Masyarakat
harusnya sadar, tidak mau ditipu dengan slogan-slogan membangun ketahanan
ekonomi keluarga secara mandiri. Karena itu sebetulnya adalah bukti nyata
ketidakbecusan pemerintah untuk mengurus rakyatnya sendiri. Program membangun
ketahanan ekonomi keluarga dengan menggiatkan peran perempuan sebagai penggerak
ekonomi keluarga, adalah gerakan menjadikan perempuan sebagai ‘sapi perah’,
bahkan oleh negaranya sendiri.
Peradaban Islam dalam kepemimpinan
Negara Khilafah terbukti mampu membangun ekonomi keluarga yang kokoh lebih dari
13 abad. Rahasianya, karena sistem ekonomi yang diberlakukan negara adalah
sistem ekonomi yang menggunakan syariat (aturan) ekonomi dari Alquran dan
Assunnah. Ekonomi Islam menuntut penguasa agar melayani dan memberikan
kesejahteraan kepada rakyatnya. Hasilnya terbentuklah ekonomi keluarga yang
kokoh, yang mampu memenuhi kebutuhan primer, sekunder, tersier dengan kualitas
yang sangat baik.
Pasal 153 dari Rancangan Konstitusi
Khilafah yang diajukan oleh Hizbut Tahrir menyatakan: “Negara menjamin lapangan
kerja bagi setiap warga negara.” Khilafah juga akan melarang privatisasi
sumberdaya alam seperti minyak, gas, mineral dan juga air, sehingga akan
menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang di sektor publik. Negara Khilafah
juga akan berusaha keras untuk menciptakan suasana bisnis yang kondusif dan
sehat, memberikan bantuan pelatihan teknis, penyediaan lahan, peralatan
pertanian bahkan modal untuk mereka yang tidak mampu. Negara Khilafah juga akan
menyiapkan para ahli untuk laki-laki yang mampu agar membuka usaha atau bertani
di lahan mereka. Khilafah harus menyediakan bantuan keuangan dari Baitul Mal
(Departemen Keuangan) bagi perempuan yang tidak ada penanggungnya. Rasulullah
saw bersabda: “Siapa saja yang mati meninggalkan harta, maka harta itu bagi
ahli warisnya. Siapa saja yang mati meninggalkan hutang atau tanggungan, maka
hutang dan tanggungan itu merupakan kewajiban kami.” Pasal 156 Rancangan
Undang-Undang Dasar Khilafah oleh Hizbut Tahrir, menyatakan: Negara menjamin
biaya hidup bagi orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan atau jika tidak
ada orang yang wajib menanggung nafkahnya. Negara
turun tangan langsung memberikan kesejahteraan, membangun ketahanan ekonomi
keluarga. Kepala negara dalam Khilafah tidak bersikap sebagai
pedagang/produsen/pengusaha. Sebagaimana sikap kepala negara dalam negara
demokrasi. Khalifah melayani untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Bukan
berhitung keuntungan (profit) sebagaimana kepala negara sistem demokrasi.
Ada
dua kebijakan yang dilakukan Negara Khilafah untuk pengembangan ekonomi serta
peningkatan partisipasi kerja dan produksi.
Pertama: mendorong masyarakat
memulai aktivitas ekonomi tanpa dibiayai oleh Baitul Mal (Kas Keuangan Negara).
Peran Negara Khilafah adalah
membangun iklim usaha yang kondusif dengan menerapkan sistem ekonomi Islam
secara komprehensif. Beberapa mekanisme inti yang akan
dilakukan Negara Khilafah adalah; menata ulang hukum-hukum kepemilikan,
pengelolaan dan pengembangan kepemilikan, serta distribusi harta di
tengah masyarakat; menjamin pelaksanaan mekanisme pasar yang sesuai syariah;
menghilangkan berbagai distorsi yang menghambat (seperti penimbunan, kanzul-mal,
riba, monopoli, penipuan); menyediakan informasi ekonomi dan pasar; serta
membuka akses informasi untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya
informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil
keuntungan secara tidak benar; mengembangkan sistem birokrasi dan administrasi
yang sederhana dalam aturan, cepat dalam pelayanan dan profesional;
menghilangkan berbagai pungutan, retribusi, cukai dan pajak yang bersifat
tetap; menghilangkan sektor non-riil sehingga produksi barang dan jasa di
sektor riil akan meningkat.
Kedua: mengeluarkan dana Baitul Mal (Kas Negara),
dalam bentuk pemberian subsidi tunai tanpa kompensasi bagi orang yang tidak
mampu. Subsidi negara untuk kaum fuqara danmasakin (orang-orang
yang tidak mampu) bukan sekadar dibagi rata dan diberikan dalam jumlah yang
kecil-kecil, tetapi juga mereka dijamin oleh pemerintah selama satu tahun agar
tidak sampai kekurangan. Subsidi diberikan dalam jumlah yang cukup besar
untuk memulai bisnis, tidak hanya untuk dikonsumsi saja. Dengan demikian
fungsinya betul-betul untuk mengangkat seseorang dari garis kemiskinan.
Rasulullah saw. pernah memberi subsidi 400 dirham (sekitar Rp 28 juta). Saat
itu harga baju yang paling mahal pada masa itu sebesar 19 dirham (sekitar Rp
1,3 juta) dan baju biasa seharga 4 dirham (sekitar Rp 280 ribu).
Mengenai hak-hak ekonomi perempuan, berdasarkan dustur yang
telah disusun oleh Hizbut Tahrir, dalam pasal 127, dikatakan
bahwa politik ekonomi akan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar bagi
setiap individu dengan pemenuhan yang menyeluruh. Disyaratkan bahwa
pemenuhan kebutuhan itu sampai pada tataran perempuan mendapatkan
pemenuhan dalam makanan, tertutupi auratnya, dan mendapatkan tempat tinggal.
Dalam Pasal 114 disebutkan bahwa perempuan
diberikan hak yang sama dengan laki-laki, mendapatkan kewajiban seperti yang
diwajibkan kepada laki-laki kecuali apa yang dikhususkan atasnya seperti Islam
mewajibkan laki-laki untuk pemerintahan. Islam memberikan hak perempuan
untuk perdagangan, pertanian, industri, melakukan akad-akad mu’amalah dan untuk
memiliki setiap barang yang bisa dimiliki. Demikian juga dalam waris, perempuan
memiliki hak.
Dalam bab tentang pekerjaan bagi perempuan yang akan dijamin oleh
Khilafah sesuai dengan pasal 115, perempuan boleh menjadi pegawai negara
dan menduduki posisi dalam peradilan, kecuali sebagai qadhi mazhalim. Dalam kehidupan Negara Khilafah, bekerja bagi
seorang perempuan betul-betul hanya sekadar sebuah pilihan, bukan tuntutan
keadaan.
Dalam Negara Khilafah, pilihan bekerja ini bisa diambil perempuan secara
leluasa, karena Islam menjamin kebutuhan pokok perempuan dengan mekanisme
kewajiban nafkah ada pada suami/ayah, kerabat laki-laki bila tidak ada
suami/ayah atau mereka ada tapi tidak mampu, serta jaminan Negara Khilafah
secara langsung bagi para perempuan yang tidak mampu dan tidak memiliki
siapapun yang akan menafkahinya seperti para janda miskin. Abu Hurairah
ra. berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda: “Siapa saja yang meninggalkan
kalla maka dia menjadi kewajiban kami.” (HR Muslim). Kalla adalah
orang yang lemah dan tidak mempunyai anak maupun orangtua.
Dalam Khilafah Islam tidak akan ada perempuan yang terpaksa bekerja
mencari nafkah dan mengabaikan kewajibannya sebagai istri dan
ibu. Sekalipun Islam tidak melarang perempuan bekerja, mereka bekerja
semata mengamalkan ilmu untuk kemaslahatan umat, sementara tanggung jawab
sebagai istri dan ibu juga tetap terlaksana. Jenis pekerjaannya pun
adalah pekerjaan yang tetap menjaga kemuliaan dan kehormatan perempuan. Negara
Khilafah akan menutup semua akses jenis pekerjaan yang mengeksploitasi dan
mengekspose tubuh perempuan. Islam melarang pria dan wanita untuk melakukan
segala bentuk perbuatan yang mengandung bahaya terhadap akhlak atau yang dapat
merusak masyarakat. Dilarang mempekerjakan perempuan dengan tujuan memanfaatkan
aspek keperempuanannya. Rafi‘ ibn Rifa’ah menuturkan: Nabi saw. telah
melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan
dengan kedua tangannya. Beliau bersabda, “Begini (dia kerjakan) dengan
jari-jemarinya seperti membuat roti, memintal, atau menenun.” (HR
Ahmad).
Semua mekanisme itu untuk merealisasikan kebaikan dalam masyarakat, yang
didalamnya terpenuhi kesucian, ketakwaan, kesungguhan, dan kerja
(produktivitas). Semua orang akan merasa tenteram di dalam Negara
Khilafah, merasa tenang jiwanya, sekaligus menjamin kehidupan umum agar menjadi
kehidupan yang serius dan produktif, mampu memenuhi kebahagiaan dan
kesejahteraan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Tabel: Mekanisme Ketahanan Ekonomi Keluarga
Peradaban
Demokrasi Kapitalis-Neolib
|
Peradaban
Khilafah Islam
|
|
Posisi keluarga
|
Laki-laki dan perempuan berkontribusi sama
dalam menghasilkan pendapatan keluarga (tidak ada strategi pencari nafkah
utama)
|
Setiap laki-laki mukallaf sebagai pencari
nafkah utama dipastikan mendapat akses ke pekerjaan, baik secara mandiri atau
melalui bantuan negara
|
Posisi negara mengatur pemenuhan kebutuhan
pokok keluarga
|
Sebagai regulator, membuat paket-paket
kebijakan yang mendorong perempuan ikut menambah pemasukan pendapatan
keluarga.
|
Negara berperan
langsung membangun ketahanan ekonomi keluarga dengan cara:
Pertama:
mendorong masyarakat memulai
aktivitas ekonomi tanpa dibiayai oleh Baitul Mal (Kas Keuangan Negara). Peran
Negara Khilafah adalah membangun iklim usaha yang kondusif dengan menerapkan
sistem ekonomi Islam secara komprehensif.
|
Kedua: mengeluarkan
dana Baitul Mal (Kas Negara), dalam bentuk pemberian subsidi tunai tanpa
kompensasi bagi orang yang tidak mampu. Subsidi negara untuk
kaum fuqara dan masakin (orang-orang yang tidak mampu) bukan
sekadar dibagi rata dan diberikan dalam jumlah yang kecil-kecil, tetapi juga
mereka dijamin oleh pemerintah selama satu tahun agar tidak sampai
kekurangan.
|
||
Peran negara memenuhi kebutuhan pokok
massal (pendidikan, kesehatan, keamanan)
|
Memprivatisasi layanan pendidikan,
kesehatan karena keterbatasan keuangan negara.
Akibatnya, layanan pendidikan dan kesehatan
menjadi pos yang banyak menyerap belanja keluarga.
|
Memenuhi secara langsung kebutuhan pokok
massal dengan dana kas negara Baitul Mal. Menyediakan layanan kesehatan,
pendidikan yang berkualitas dan bebas biaya.
|
DAMPAK
|
Pemenuhan kebutuhan pokok keluarga
membutuhkan biaya yang sangat mahal. Sehingga tidak semua keluarga mampu
memenuhi kebutuhan pokoknya dengan baik.
|
Terealisasi kebaikan dalam masyarakat, yang
didalamnya terpenuhi kesucian, ketakwaan, kesungguhan, dan kerja (produktivitas).
Semua orang merasa tenteram di dalam
Negara Khilafah, merasa tenang jiwanya, sekaligus terpenuhi kebahagiaan dan
kesejahteraannya.
|