Mekanisme Penyelenggaraan Pendidikan Islam
Mekanisme
penyelenggaraan pendidikan Islam mencakup strategi kurikulum dan strategi
penyelenggaran oleh negara.
Strategi
kurikulum merupakan penjabaran dan penerapan dari tujuan pendidikan. Kurikulum pendidikan Islam dirancang untuk
menancapkan aqidah dan tsaqofah Islam
serta membekali peserta didik dengan lifeskill yang dibutuhkan dalam
melaksanakan fungsi kemanusiaannya sebagai khalifatu
fiil ardh.
Kurikulum
dirancang untuk mampu mewujudkan output pendidikan yang memiliki karakteristik
sebagai berikut :
1.
Kepribadian Islam
Tujuan
ini merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim, yaitu keteguhan dalam
memegang identitas kemuslimannya dalam kehidupan sehari-hari. Identitas itu
tampak pada dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (‘aqliyah) dan pola
sikap (nafsiyah) yang berpijak pada akidah Islam. Paling tidak, terdapat tiga
langkah untuk membentuk kepribadian Islam sebagaimana yang dicontohkan
Rasulullah saw., yaitu: Pertama, Menanamkan
akidah Islam sebagai sebagai ‘aqîdah ‘aqliyah—akidah yang muncul
dari proses pemikiran yang mendalam—kepada setiap orang. Kedua, Menanamkan sikap konsisten dan istiqamah kepada
setiap orang agar cara berpikir dan kecenderungan insaninya tetap berada di
atas pondasi akidah yang diyakininya.
Ketiga, Mengembangkan kepribadian dengan senantiasa mengajak setiap
orang bersungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya
dengan tsaqâfah Islâmiyah dan mengamalkan perbuatan yang selalu
berorientasi pada ketaatan kepada Allah SWT.
2. Menguasai
tsaqâfah islamiyah dengan handal.
Islam
mendorong setiap Muslim untuk menjadi manusia yang berilmu dengan cara
mewajibkannya untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya,
menurut al-Ghazali, ilmu dibagi ke dalam dua kategori, yaitu: (1) ilmu yang
fardlu ‘ain, yaitu wajib dipelajari setiap Muslim seperti:
ilmu-ilmutsaqâfah Islam yang terdiri konsepsi, ide, dan hukum-hukum
Islam (fiqh), bahasa Arab, sirah Nabi, Ulumul
Quran, tahfîdz al-Quran, Ulumul Hadits, ushul fikih, dll; (2) ilmu
yang dikategorikan fardhu kifayah, biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan
teknologi serta ilmu terapan-keterampilan seperti biologi, fisika, kedokteran,
pertanian, teknik, dll.
3.
Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK).
Menguasai
PITEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga
dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullah di muka bumi dengan
baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardhu kifayah, yaitu kewajiban
yang harus dikerjakan oleh sebagian Muslim apabila ilmu-ilmu tersebut
sangat diperlukan umat seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan,
biologi, teknik, dll.
4.
Memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdayaguna.
Penguasaan
keterampilan yang serba material ini merupakan tuntutan yang harus dilakukan
umat Islam dalam rangka pelaksanaan amanah Allah SWT. Hal ini diindikasikan dengan terdapatnya
banyak nash yang mengisyaratkan setiap Muslim untuk mempelajari ilmu
pengetahuan umum dan keterampilan sehingga hal ini dihukumi sebagai fardhu
kifayah.
Strategi
kurikulum pendidikan Islam ini akan menghasilkan generasi muda Islam yang
cendekiawan sekaligus ulama, faqih fiddiin sekaligus menguasai PITEK. Sementara strategi kurikulum pendidikan
kapitalis hanya menghasilkan pribadi-pribadi sekuler yang menguasai PITEK namun
awam dalam agama, generasi yang hanya menjadi buruh-buruh kapitalis.
Dari
sisi strategi penyelenggaraan pendidikan, Negara wajib menyediakan pendidikan
yang berkualitas. Fasilitas dan
infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah,
laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya
harus diadakan. Negara juga wajib
menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan
gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor
pendidikan. Para Sahabat telah sepakat mengenai kewajiban
memberikan ujrah (gaji) kepada tenaga-tenaga pengajar
yang bekerja di instansi pendidikan negara Khilafah di seluruh strata
pendidikan. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji
guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah, sebanyak 15 dinar setiap
bulan. Gaji ini beliau ambil dari Baitul Mal.
Seluruh
pembiayaan pendidikan di dalam negara diiambil dari Baitul Mal, yakni dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah, yakni kemilikan umum yang
mencakup perairan, hutan, dan hasil-hasil tambang. Seluruh
pemasukan Negara Khilafah, baik yang dimasukkan di dalam pos fai’ dan kharaj, serta pos milkiyyah
‘amah, boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Jika
pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi maka negara tidak akan menarik
pungutan apapun dari rakyat.
Jika harta di Baitul Mal habis atau tidak cukup
untuk menutupi pembiayaan pendidikan, maka Negara meminta sumbangan sukarela
dari kaum Muslim. Jika sumbangan kaum Muslim juga tidak mencukupi, maka
kewajiban pembiayaan untuk pos-pendidikan beralih kepada seluruh kaum
Muslim. Sebab, Allah SWT telah mewajibkan kaum Muslim untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran wajib—seperti pendidikan, kesehatan, dan
keamanan—ketika Baitul Mal tidak sanggup mencukupinya. Selain itu,
jika pos-pos tersebut tidak dibiayai, kaum Muslim akan ditimpa kemadaratan. Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT
memberikan hak kepada negara untuk memungut pajak (dharibah)
dari kaum Muslim. Hanya saja, penarikan pajak dilakukan secara
selektif. Artinya, tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak.
Hanya pihak-pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan saja yang akan dikenain
pajak. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup
dibebaskan dari membayar pajak.
Dengan mekanisme ini, pendidikan berkualitas
dijamin bisa didapatkan oleh seluruh warga negara, muslim maupun non muslim,
kaya maupun miskin. Berbeda dengan
sistem pendidikan kapitalis yang menyediakan fasilitas sesuai dengan bayaran
yang bisa diberikan para peserta didik.
Mereka yang miskin, cukup dengan sekolah negeri dengan fasilitas
abal-abal. Sedangkan yang kaya bisa
mendapat fasilitas gedung megah, dilengkapi AC, perpustakaan dan laboratorium
canggih, guru-guru dari luar negeri serta kesempatan kerja yang lebih
baik. Ketimpangan yang luar biasa!
Program
Pendidikan Islam
Program pendidikan Islam dijalankan dalam
program-program yang sudah baku sesuai dengan apa yang telah ditetapkan syara’.
Program-program ini bukan lagi trial and
error yang menjadikan peserta didik sebagai obyek percobaan. Program-program tersebut antara lain sebagai berikut :
·
Program
inti : pembentukan kepribadian Islam dengan meletakkan dasar-dasar akidah Islam
yang kuat pada jiwa anak. Materi akidah
tidak diberikan dalam bentuk teori, melainkan lebih ditekankan pada pembentukan
kesadaran dan keterikatan kepada Sang Khaliq.
Selanjutnya kesadaran ini diarahkan pada ketundukan dan ketaatan kepada
syari’at-Nya.
·
Pemberian
tsaqafah Islam untuk mewujudkan kepribadian Islam yang sempurna. Waktu belajar untuk ilmu-ilmu Islam (tsaqofah
Islamiyyah) diberikan setiap minggu dengan proporsi yang disesuaikan dengan
waktu pelajaran ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan).
·
Pelajaran
ilmu-ilmu kehidupan/terapan dan sejenisnya (iptek dan keterampilan) dibedakan
dari pelajaran guna membentuk syakhsiyyah Islamiyah dan tsaqofah Islamiyyah.
Khusus untuk materi membentuk
syakhsiyyah Islamiyah mulai diberikan di tingkat dasar sebagai materi
pengenalan dan kemudian meningkat pada materi pembentukan dan peningkatan
seiring dengan peningkatan kemampuan berpikir anak didik sampai sempurna saat
ia menginjak usia baligh. Sementara materi tsaqofah Islamiyyah dan pelajaran
ilmu-ilmu terapan dan sejenisnya diajarkan secara bertahap dari mulai tingkat
dasar.
·
Meteri
pelajaran yang bermuatan pemikiran, ide dan hukum yang bertentangan dengan
islam, seperti ideologi sosialis/komunis atau liberal/kapitalis, aqidah ahli
kitab dan lainnya, termasuk sejarah asing, bahasa maupun sastra asing dan
lainya, hanya diberikan pada tingkat pendidikan tinggi yang tujuannya hanya
untuk pengetahuan, bukan untuk diyakini dan diamalkan.
·
Pembentukan
lifeskill sehingga generasi Islam menjadi generasi tangguh yang mampu untuk
mencari solusi atas semua permasalahannya.
Lifeskill yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan anak didik
berdasarkan usia, lingkungan tempat tinggalnya, jenis kelamin dan perkembangan
teknologi. Lifeskill untuk anak
laki-laki diarahkan agar ia bisa bekerja saat usianya menginjak baligh,
sedangkan anak perempuan mampu mengurus rumahtangga. Misalnya anak laki-laki diajarkan berenang,
bela diri, dasar-dasar pertukangan, dan sebagainya. Sedangkan anak perempuan diajarkan memasak,
menjahit dan sejenisnya.
·
Anak
didik diajarkan trampil berbicara di depan umum sebagai bekal dakwah. Untuk anak laki-laki ditambahkan ketrampilan
azan, dan latihan sebagai imam dan khatib.
·
Setelah
menginjak usia baligh, anak laki-laki diajarkan pelatihan militer.
Inilah beberapa
program yang harus ada dalam pendidikan Islam, sesuatu yang tidak kita jumpai
dalam kurikulum kapitalis. Pendidikan
tsaqafah diabaikan dan kalaupun diajarkan lifeskill, hanya sebatas pada
penguasaan ketrampilan yang dibutuhkan untuk bekerja dan memberikan keuntungan
pada para pemilik perusahaan.
Sistem pendidikan
Islam yang demikian detil, terprogram
dan sempurna, hanya akan bisa dijalankan oleh satu institusi negara yang
menerapkan hukum-hukm Islam. Sistem ini
tidak bisa dijadikan tambal sulam bagi kapitalisme atau sosialisme. Hanya negara khilafah Islamiyyah, yang akan
mampu mewujudkan sistem pendidikan paripurna ini dalam kehidupan.
NEGARA MEWUJUDKAN
LINGKUNGAN YANG SELARAS DENGAN INSAN KAMIL
Sejatinya, pendidikan adalah proses belajar sepanjang
hayat. Karenanya, ia harus dilakukan
kapan pun dan di mana pun. Rasulullah
Saw pun pernah bersabda : “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat”
(al Hadits). Proses yang panjang ini
tentu membutuhkan kondisi atau lingkungan kondusif agar berjalan optimal.
Secara faktual pendidikan melibatkan tiga unsur
pelaksana, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga unsur tersebut saling terkait dan
saling mempengaruhi. Artinya, jika pendidikan
di rumah buruk, maka akan menambah beban berat bagi pendidikan di sekolah dan
akhirnya akan menambah ruwetnya persoalan di masyarakat. Sebaliknya, jika kondisi di masyarakat atau
keluarga baik, maka akan mendukung proses pendidikan di sekolah. Tujuan pendidikan pun akan jauh lebih mudah
dicapai.
Dengan demikian, untuk mewujudkan insan kamil dibutuhkan
lingkungan yang kondusif agar ketiga unsur tersebut berjalan dengan baik dan
saling mendukung.
Lingkungan Masyarakat
Pendidikan di masyarakat merupakan pendidikan sepanjang
hayat terutama jika dikaitkan dengan praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan lingkungan masyarakat sangat
mempengaruhi sumber-sumber belajar seperti tetangga, teman pergaulan,
lingkungan serta sistem nilai yang berlaku di masyarakat.
Oleh karena itu, pendidikan membutuhkan lingkungan
masyarakat yang baik. Yaitu, masyarakat
yang jauh dari nilai-nilai rusak dan merusak, jauh dari semua produk sistem
sekulerime kapitalisme. Pendidikan
memerlukan lingkungan yang jauh dari pergaulan bebas, pornografi dan pornoaksi,
masyarakat yang aman dari ancaman obat-obat terlarang, gangguan keamanan dan
media merusak.
Bisa dibayangkan, apalah artinya jika di sekolah
diajarkan hukum yang melarang laki-laki dan perempuan untuk berpacaran. Namun, masyarakat membiarkan aktivitas itu
bertaburan di berbagai tempat. Bahkan
masyarakat sendiri yang menyelenggarakan berbagai tempat ajang maksiyat;
bioskop, tempat kongkow muda mudi hingga fisilitas kamar menginap.
Maka sebaliknya, pendidikan membutuhkan masyarakat yang
menjunjung tinggi kebaikan, masyarakat yang memelihara media yang membangun,
yang bisa menjaga keimanan dan merangsang kreativitas dalam memajukan
peradaban.
Tentu saja, lingkungan masyarakat seperti itu tidak bisa
tumbuh dengan sendirinya. Namun
memerlukan peran, dukungan bahkan topangan negara. Sebab, negara memiliki kekuatan untuk
menegakkan hukum dan peraturan agar lingkungan masyarakat benar-benar
baik. Bahkan negara memiliki kekuatan
untuk mencabut sistem sekuler kapitalis tersebut dan menggantinya dengan sistem
Islam yang menjaga kehormatan.
Dalam sejarah, ketika negara menerapkan Islam di
masyarakat maka ketakwaan menjadi penjaga dari segenap hal negatif yang bisa
melunturkan pendidikan yang sudah ditancapkan.
Negara mampu menerapkan hukum-hukum pergaulan Islam secara tegas dan membangun
media yang Islami. Negara pun menerapkan
ekonomi yang mensejahterakan sehingga tidak ada lagi rumah remang-remang
perusak akhlak juga anak-anak jalanan yang tak sempat menimba ilmu. Sungguh, negara Khilafah mampu membangun
atmosfir pendidikan kondusif di masyarakat.
Lingkungan Keluarga
Pendidikan juga memerlukan lingkungan keluarga yang
baik. Orang tua menjadi salah satu
bagian penting dalam proses pendidikan anak.
Rasulullah Saw. bersabda: “Tiap anak dilahirkan
dalam keadaan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunyalah kelak yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala)” (HR. Bukhari).
Hadits tersebut menegaskan betapa sangat bergantungnya
anak pada keadaan atau bimbingan orang tuanya.
Dengan demikian, lingkungan keluarga sangat mempengaruhi proses
pendidikan anak.
Realitasnya, keluarga yang mampu menjalankan fungsi
edukasi dan religiusnya (memberikan pendidikan agama) dengan baik dan yang
mampu menebarkan kasih sayang di antara anggota keluarga sangat mempengaruhi
proses pendidikan anak. Anak akan berada
pada posisi mendapatkan landasan bersih dan siap dibentuk oleh proses
pendidikan yang berjalan di sekolah dan masyarakat.
Sebaliknya, jika lingkungan keluarga tidak kondusif,
misalnya anak kurang kasih sayang karena orang tua disibukkan oleh beban hidup
yang berat, ibu bahkan ikut sibuk mencari nafkah, ayah tak cukup waktu untuk
memberikan perhatian kepada anggota keluarga, maka yang terjadi adalah
anak-anak yang tertekan secara psikologis.
Kondisi ini sangat tidak mendukung proses pendidikan. Bahkan, pada banyak kasus menambah beban
berat dan merusak lingkungan pendidikan yang sudah baik.
Berjalannya fungsi keluarga juga tidak bisa lepas dari
peran negara. Sebab, betapa banyak
persoalan keluarga yang muaranya adalah kekacauan sistem bernegara. Misalnya, ketika kemiskinan membelit keluarga
maka yang menjadi korban anak-anak juga.
Hilangnya keharmonisan suami istri -yang berpengaruh bagi anak-anak-
juga disumbang oleh lingkungan pergaulan yang tidak baik di masyarakat.
Kehidupan hedonistik juga tak lepas dari abainya negara dalam mengontrol
perilaku masyarakat, baik melalui media maupun aturan.
Dengan demikian, negara sangat berperan membentuk
lingkungan keluarga yang kondusif bagi pendidikan anak. Jika negara mampu memerankan diri sebagai
penjamin kebutuhan ekonomi keluarga, tentu ayah maupun ibu tidak harus
kehilangan banyak kesempatan untuk makin mendekatkan hubungan dengan
anak-anak. Kasih sayang pun akan tumbuh
dengan baik karena tidak ada beban keluarga yang menekan kejiwaan semua angota
keluarga.
Sungguh, hanya negara yang menerapkan sistem Islam
(Khilafah) saja, yang mampu memberi kemudahan bagi keluarga sehingga optimal
menjalankan fungsi edukasinya.
Lingkungan Pendidikan Formal dan non Formal
Di samping sekolah -sebagai lingkungan pendidikan
formal-, pendidikan juga bisa diselenggarakan oleh kelompok anggota
masyarakat. Sebagai bentuk pendidikan
non formal, keberadaannya sangat mendukung aspek pendidikan formal sehingga
bisa membentuk lingkungan pendidikan sekolah yang kondusif.
Hanya saja, dalam masyarakat sekuler kapitalis seperti
sekarang ini, mewujudkan lingkungan pendidikan, baik formal maupun non formal,
amat sulit. Sekulerisme kapitalis telah
membentuk jiwa-jiwa malas dan pelit untuk memperhatikan masalah pendidikan
dengan sebaik-baiknya. Tak banyak pihak
yang rela mendidik dan membantu memberikan fasilitas pendidikan melainkan jika
menguntungkan. Bahkan ada sebagian pihak
yang menjadikan lembaga pendidikan justru sebagai lahan mengeruk keuntungan
pribadi. Berbagai pungli dan suap
berseliweran di sekolah-sekolah, berkelindan antara tenaga dan staf
kependidikan dengan masyarakat yang malas.
Sungguh memiriskan.
Tentu berbeda jika negara menerapkan sistem Islam. Suasana takwa senantiasa menyelimuti proses
pendidikan baik di lingkungan sekolah maupun lembaga pendidikan non
formal. Sikap berlomba-lomba melakukan
kebaikan, beramar makruf nahi munkar menghilangkan jiwa-jiwa pelit dan rakus
dalam mengejar materi dan kehidupan duniawi.
Maka yang terbentuk adalah semangat berkorban dan mendukung sepenuhnya
proses terbentuknya insan kamil.
Dalam kondisi seperti ini, akan sangat mudah bagi negara
untuk merangsang individu masyarakat menyediakan pendidikan non formal,
misalnya mendirikan perpustakaan pribadi, menyelenggarakan kursus-kursus
tambahan yang mengarah pada tujuan pendidikan Islam dan sebagainya. Berbagai kemudahan tentu juga akan diberikan
negara. Betapa indahnya, jika semua
komponen bisa berjalan saling mendukung mewujudkan tujuan pendidikan
Islam.
Penutup
Insan kamil adalah hasil dari proses pendidikan yang
melibatkan banyak komponen. Sebaik
apapun mekanisme pendidikan jika tidak ditopang oleh lingkungan yang baik maka
akan sia-sia. Maka mewujudkan lingkungan
pendidikan yang baik bagi terbentuknya insan kamil adalah suatu keharusan.
Fakta menunjukkan bahwa sistem sekuler kapitalis telah
menghasilkan lingkungan pendidikan yang kontra produktif dengan tujuan
pendidikan Islam. Oleh karena itu,
sistem rusak ini harus diganti dengan sistem yang menjamin terwujudnya
lingkungan pendidikan yang baik. Sistem
itu tidak lain adalah sistem yang menerapkan syariah Islam secara
menyeluruh. Itulah Khilafah Islamiyah
yang pernah ditegakkan selama belasan abad silam. Sistem itu pula yang telah terbukti
menghasilkan lingkungan pendidikan yang sangat kondusif bagi terwujudnya insan
kamil -tujuan pendidikan yang dikehendaki Allah SWT.[]
Diambil dari makalah Kongres Ibu Nusantara ke-4 DKI Jakarta, 24 Desember 2016 di Balai Sudirman Jakarta Selatan