Zaman pasti berputar
dan perubahan adalah sebuah keniscayaan. Dunia hari ini memasuki era baru yang jauh
berbeda dari era sebelumnya. Kecanggihan dunia teknologi, cepatnya arus
informasi menjadi sesuatu yang sangat tidak asing dan begitu lekat dengan
kehidupan kita. Segala macam hal yang
konvensional dan konservatif nyaris menjadi sesuatu yang usang dan tidak lagi
berlaku dimana-mana. Semuanya beralih kepada sesuatu yang instan dan cepat,
digital. Generasi hari ini besar dengan barang-barang elektronik
dan dunia informasi tanpa batas adalah
tempat hidup mereka. [1]
Mereka tidak kenal
lagi layar tancap. Mereka lebih kenal internet dan keseluruhan media social
tanpa terkecuali. Mereka dapat mencari, menikmati, melakukan apapun di dunia
maya tersebut. Sejalan dengan
kemudahan akses informasi secara cepat dan praktis, kecerdasan
dan kelincahan remaja seperti ini sangat mengagumkan. Tetapi di sisi lain
kerawanan moral juga menyedot perhatian, karena secara tidak sadar moralitas
mereka juga dibentuk oleh situs-situs yang mereka kunjungi setiap menitnya. Mereka
adalah ‘manusia kekinian’ yang hari ini populer disebut sebagai generasi Z. [2]
Teori
Generasi
Istilah generasi Z baru-baru ini memang
sering terdengar dan cukup familiar di telinga. Generasi ini sangat akrab
dengan gadget dan berbagai alat canggih di dalam kesehariannya. Mereka
lahir dan tumbuh ditengah merebaknya teknologi digital, sehingga ada yang
menjuluki mereka sebagai generasi digital native. Generasi digital native bisa
menggunakan teknologi digital tanpa perlu belajar terlebih dahulu. Mereka lebih
mengedepankan trial and error ketika
menggunakan fitur-fitur teknologi digital.[3]
Berbeda dengan generasi-generasi
pendahulunya, sejak kecil mereka
sudah mengenal (dan diperkenalkan) dan akrab dengan berbagai gadget yang canggih. Arus
informasi yang cepat dan tanpa batas membentuk generasi Z sebagai generasi yang lebih cepat dalam memproses
informasi. Tak ayal, internet menjadi dunia baru bagi generasi Z yang secara langsung atau pun tidak memberikan
pengaruh terhadap perkembangan
perilaku dan kepribadiannya. Mereka menjadi generasi yang lebih bebas, lebih cepat dalam menentukan sikap,
mengarahkan cita-cita dan keinginan
kerja dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Tuhana Taufiq Andrianto dalam
Jusuf AN (2011) memperkirakan akan terjadi booming Generasi Z sekitar tahun
2020.[4]
Boomingnya istilah Generasi Z di Indonesia terbilang
cukup baru. Generasi Z adalah salah satu dari pengelompokkan generasi yang
dilakukan oleh para pembuat teori generasi yang awalnya berkembang di Amerika
Serikat. Para pengamat yang mencetuskan Generation Theory pada awalanya beranggapan bahwa
generasi adalah orang-orang yang lahir di masa tertentu memiliki kemiripan
karakteristik satu sama lain. Hal ini bisa terjadi karena masing-masing
kelompok generasi mendapatkan informasi perkembangan teknologi, tren, dan gaya
hidup yang hampir sama. Dengan demikian, kemiripan itu dapat terwujud meski
setiap individu dibatasi oleh perbedaan tempat tinggal, latar belakang
kehidupan, pendidikan, dan budaya.[5]
Mannheim (1923), seorang sosiolog asal Hungaria mendefinisikan sebuah
generasi adalah sebuah kelompok yang terdiri dari individu yang memiliki
kesamaan dalam rentang usia, dan berpengalaman mengikuti peristiwa sejarah
penting dalam suatu periode waktu yang sama. Berdasarkan teori generasi Mannheim ini, para ahli
sosiolog membagi manusia menjadi beberapa generasi; Generasi Era Depresi, Generasi
Perang Dunia II, Generasi Pasca-Perang Dunia II, Generasi Baby Boomer I,
Generasi Baby Boomer II, Generasi X, Generasi Y (Milenial),
dan Generasi Z. Istilah Generasi Z, menjadi semakin populer setelah digunakan
saat presentasi oleh agen pemasaran Spark and Honey pada
2014, dan menyebutkan bahwa Generasi Z adalah mereka yang lahir antara tahun
1995 sampai 2014.[6]
Meskipun ada pengelompokkan tentang generasi,
apabila kita membaca berbagai literatur yang mendiskusikan tentang hal ini, batasan
pasti “Cut Off” setiap generasi sebenarnya tidak pernah ada
suatu kesepakatan dari seluruh peneliti kapan setiap generasi ini dimulai dan
berakhir.
Sehingga akan kita temukan adanya perbedaan rentang waktu dalam penyebutan setiap
kelompok generasi. Strauss dan Howe yang
hanya dua ahli dari banyak pakar yang ada tentang generasi, mendefinisikan
bahwa generasi sebagai agregat dari semua orang yang lahir selama rentang waktu
sekitar dua puluh tahun atau sekitar panjang satu fase dari masa kanak-kanak, dewasa
muda, usia pertengahan dan usia tua. Secara singkatnya dinyatakan dalam
teori generasi bahwa terdapat tiga kriteria yang harus dimiliki oleh
sebuah generasi yaitu usia lokasi dalam sejarah, kepercayaan dan perilaku yang
sama, serta keanggotaan periode waktu yang sama. Kriteria pertama maksudnya
adalah generasi yang sama akan mengalami peristiwa sejarah penting dan tren
sosial bersamaan. Hal ini akan menyebabkan sebuah generasi akan berbagi
beberapa kepercayaan dan perilaku yang sama. Kriteria terakhir artinya satu
generasi akan mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok yang berbeda dibanding
generasi lainnya.
Menurut
teori generasi ini secara keseluruhan yang ditelitinya mencakup tujuh generasi
dengan dibagi atas dari penelitian mereka dibatasi pada dua generasi sebelum
perang dunia kedua dan lima generasi setelah perang dunia kedua. Dua generasi
sebelum perang dunia kedua. Yaitu pertama, generasi pertama
yaitu G1 Generation dengan tahun kelahiran 1901-1924 dan kejadian yang terjadi
adalah setelah World War I, G1 Bill yaitu subsidi besar yang diberikan pemerintah kepada veteran yang kembali
dari perang dunia membuat generasi G1 cukup dimanja. Kedua, generasi kedua
adalah Silent Generation dengan tahun
kelahiran 1925-1942 dan kejadian yang terjadi adalah menjalani masa kecil yang
diwarnai krisis seperti Great Depression dan World War II, bahkan kejadian
Pearl Harbor dan D-Day, generasi ini termasuk generasi yang ”diam”.
Lima
generasi setelah perang dunia kedua yaitu, generasi pertama adalah Baby
Boomer (lahir tahun 1946–1964) yaitu generasi yang lahir setelah Perang
Dunia II ini memiliki banyak sanak saudara, akibat dari belum adanya pemahaman
tentang pentingnya program keluarga berencana (KB). Generasi yang adaptif,
mudah menerima dan menyesuaikan diri. Generasi Baby Boomer ini diberi stempel
sebagai orang lama yang mempunyai banyak pengalaman hidup. Generasi kedua
adalah Generasi X (lahir tahun 1965-1980) Tahun-tahun ketika generasi ini
lahir merupakan awal dari penggunaan PC (personal
computer), video games, tv kabel, dan internet. Menurut hasil penelitian teori
generasi, sebagian dari generasi ini memiliki tingkah laku negatif seperti
tidak hormat pada orang tua, mulai mengenal musik punk, dan mencoba menggunakan
ganja.
Selanjutnya
generasi ketiga yaitu Generasi Y (lahir tahun 1981-1994), Dikenal dengan
sebutan generasi millenial atau milenium. Generasi ini banyak menggunakan
teknologi komunikasi instan seperti email,
SMS, instan messaging dan media
sosial seperti facebook dan twitter. Mereka juga suka main game online. Disebutkan dalam teori tersebut, bahwa generasi Y
ini memiliki karakter yang pragmatis, dan ingin transparansi, juga segala
sesuatunya itu dilakukan secara “fair”.
Generasi
keempat adalah Generasi Z (lahir tahun 1995-2010). Disebut
juga iGeneration, generasi net atau generasi internet. Generasi ini
memiliki kesamaan dengan generasi Y, namun generasi Z ini mampu mengaplikasikan
semua kegiatan dalam satu waktu seperti nge-tweet menggunakan ponsel, browsing dengan PC, dan mendengarkan
musik menggunakan headset. Keseharian
mereka kebanyakan berhubungan dengan dunia maya
Terakhir
atau generasi kelima adalah Generasi Alpha (lahir tahun 2011-2025), adalah
generasi yang lahir sesudah generasi Z, lahir dari generasi X akhir dan Y.
Generasi yang sangat terdidik karena masuk sekolah lebih awal dan banyak
belajar, rata-rata memiliki orang tua yang lebih makmur dibandingkan dengan
generasi sebelumnya. Generasi Alpha ini lebih senang berinteraksi dengan alat
teknologi yang banyak memberikan kemudahan padanya dibandingkan berinteraksi
dengan manusia.[7]
Mengenal Gen Z
Generasi Z (Gen Z) adalah Generasi yang
lahir dan dibesarkan di era serba digital dan teknologi canggih. Tentunya hal
ini berpengaruh terhadap perkembangan perilaku dan kepribadian mereka. Kiblat
mereka adalah internet, sehingga mempermudah mereka mendapatkan akses informasi
terkini. Sisi positif dari karakteristik generasi Z adalah mereka fasih dengan
teknologi digital. Bill Gates menyebut generasi ini sebagai Generasi I atau
Generasi Informasi. [8] Tetapi
di sisi lain kerawanan moral juga menyedot perhatian, karena secara tidak sadar
moralitas mereka juga dibentuk oleh situs-situs yang mereka kunjungi setiap
menitnya
Apabila kita
amati, anak-anak generasi Z ini menunjukkan ciri-ciri diantaranya memiliki
kemampuan tinggi dalam mengakses dan mengakomodasi informasi sehingga mereka
mendapatkan kesempatan lebih banyak dan terbuka untuk mengembangkan dirinya.
Secara umum, generasi Z ini merupakan generasi yang banyak mengandalkan
teknologi untuk berkomunikasi, bermain, dan bersosialisasi. Beberapa
karakteristik umum dari Generasi Z diantaranya, mereka cenderung berkurang dalam komunikasi secara verbal,
cenderung bersikap egosentris dan individualis, cenderung menginginkan hasil
yang serba cepat, serba-instan, dan serba-mudah, tidak sabaran, dan tidak
menghargai proses. Kecerdasan Intelektual (IQ) mereka mungkin akan berkembang
baik, tetapi kecerdasan emosional mereka jadi tumpul.[9]
Beberapa sifat lain yang bisa kita temui pada karakter generasi Z lainnya
adalah,
1.
Skeptis
dan sinis. Tidak
seperti generasi-generasi pendahulunya yang cenderung berjuang demi idealisme,
generasi Z justru lebih skeptis dan sinis. Sikap skeptis dan sinisme yang
dimaksud adalah perilaku yang mengutamakan realita dalam pengambilan keputusan.
Generasi yang satu ini akan mengutamakan kebutuhannya sebagai dasar untuk
menentukan sesuatu.
2.
Menjunjung
tinggi privasi. Sang
generasi Z tidak suka bila sepak terjangnya di media sosial dilacak orang lain.
Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya pengguna Facebook dari kalangan generasi
Z. Sementara media sosial yang sifatnya lebih privat seperti SnapChat dan
Instagram justru kian digandrungi. Generasi Z ingin bebas berekspresi di media
sosial tanpa terusik oleh opini orang lain.
3.
Kemampuan multi-tasking yang
hebat. Soal
kemampuan multi-tasking, sudah pasti generasi
Z-lah jagoannya. Generasi ini mampu memaksimalkan kemampuan multi-tasking dengan lima media berbeda sekaligus.
Misalnya, mereka bisa mengetik di laptop sembari mendengarkan lagu dari
internet, mengakses media sosial melalui gawai (gadget), mencari referensi penting untuk menyelesaikan tugas, dan
menonton TV.
4.
Ketergantungan
terhadap teknologi.
Bagi generasi Z, teknologi dalam genggaman tangan bisa diibaratkan seperti
udara dan air. Generasi ini tidak akan bisa hidup dengan baik jika tidak
didampingi teknologi. Mereka merasa kalau teknologi membuat mereka mudah
terhubung satu sama lain dan mudah mengakses berbagai informasi penting setiap
hari.
5.
Pola
pikir yang sangat luas dan penuh kewaspadaan (hyper aware). Berusaha meyakinkan generasi Z
tentang suatu hal bukanlah perkara mudah. Sebagai generasi yang berhubungan
erat dengan teknologi, generasi Z tidak pernah kesulitan untuk menemukan
informasi yang dibutuhkan. Sehingga hal ini membuat generasi Z memiliki pola
pikir yang sangat luas dan ekstra waspada terhadap hal-hal di sekitarnya.
6.
Keinginan
untuk berwiraswasta.
Para ahli memperkirakan bahwa 72% generasi Z ingin masuk ke dunia kerja sebagai
seorang wiraswasta. Sebab generasi Z memiliki kemampuan analisis pasar serta
tekad yang besar untuk menjadi seorang pebisnis mandiri.[10]
Mengeliminasi Gap Generation dengan Gen Z
Anak-anak
generasi Z dilahirkan oleh orang tua yang merupakan Generasi X akhir dan
Generasi Y awal. Generasi X akhir dan Generasi Y awal
merupakan generasi workaholic
(pecandu kerja) yang tipikalnya adalah
pekerja keras. Kedua
generasi sebelumnya saat ini sudah
berada dalam kemapamanan ekonomi dibanding generasi sebelumnya. Generasi X
akhir dan Generasi Y merupakan generasi yang sangat besar secara
kuantitias dan para pasukan/angkatan pekerja
(workforce). [1] Generasi Z yang cerdas dan sedang
menempuh pendidikan membutuhkan banyak dukungan dari para generasi
pendahulunya. Saat ini, generasi baby boomer, generasi
X, dan generasi Y menempati posisi sebagai kakek atau nenek, orang tua, guru,
atau tutor bagi generasi Z. Perbedaan karakteristik antargenerasi tentu menjadi
salah satu hambatan terbesar untuk menjalin komunikasi efektif.
Jika dibandingkan dengan generasi Z,
tentu saja baby boomer dan generasi X
tertinggal jauh untuk urusan teknologi. Kendati demikian, hal ini tidak lantas
menjadi batu sandungan untuk mendekatkan diri dengan generasi Z. Bermodalkan
rasa ingin tahu dan semangat belajar yang besar, baby boomer dan generasi X pasti mampu menjadi
pendidik dan teladan yang baik bagi generasi Z. Generasi Z tidak akan merasa
bosan bila dibimbing oleh generasi baby boomer dan
generasi X yang terbuka terhadap perkembangan zaman. Berbeda dengan baby boomer dan generasi X, generasi Y jelas
memiliki pemahaman teknologi yang lebih baik. Lahir pada peralihan zaman
konservatif ke zaman modern membuat generasi Y bisa memposisikan diri sebagai
“jembatan penghubung” bagi dua generasi pendahulunya dan generasi Z.
Para peneliti mengemukakan fakta
bahwa generasi Y memiliki kemampuan multi-tasking dengan
tiga media berbeda. Hal ini tentu menjadi salah satu hal yang mendasari
kemiripan generasi Y dengan generasi Z, walaupun multi-tasking generasi Z masih lebih unggul. Generasi
Y mesti membatasi perilaku individualisme supaya bisa menyelami sang generasi
Z. Bukan mustahil kalau kolaborasi generasi Y dan generasi Z akan menghasilkan
hal-hal besar di masa mendatang.
Dengan kondisi ini, sebenarnya gap generation antara anak dengan orang
tua ataupun guru (pembina) sangat bisa dihilangkan. Hal ini bisa dilakukan
dengan mencoba dengan memahami karakteristik generasi digital ini dan
memberikan pola pengasuhan dan pola pembelajaran yang tidak lagi harus meniru
pola pengasuhan dan pola pembelajaran generasi sebelumnya. Orang tua dan guru
(pembina) kerap harus melakukan pendekatan dengan pendekatan yang didapatkan
oleh orangtua dan guru generasi Z saat mereka dididik, yang biasanya hal ini seringkali
menimbulkan perbedaan persepsi antargenerasi ini.[2]
Bersambung.........
Penulis: Fika Apriani (aktivis muda, pengamat generasi)
Editor : Tresna Dewi Kharisma