Gegap gempita demokrasi bergaung lebih kuat jelang Pilpres 2019. Demokrasi disanjung, digadang-gadang, bahkan
ditaqdiskan agar setiap warga negara patuh di hadapannya. Seperti tak ada yang salah dengan sistem yang
dilahirkan dari kejumudan berpikir itu. Sebagian
kaum perempuan pun menyambutnya dengan penuh antusias. Dengan jargon pemberdayaan perempuan,
demokrasi berhasil menyeret perempuan pada berbagai ranah aktivitas, politik
dan ekonomi. Berharap masyarakat jaya,
demokrasi malah berbuah sengsara.
Maka demokrasi pun kian dipertanyakan; layakkah
ia digadang-gadang? Ataukah kedustaan yang sebenarnya dibawa? Kesangsian yang kian nyata, menghasilkan
semangat perubahan agar perempuan yang selama ini menjadi salah satu sasaran
tembaknya berputar arah untuk menghancurkannya.
Berikut paparan bukti-bukti kedustaan demokrasi dan jargon pemberdayaan
perempuan yang diusungnya.
Hakikat Demokrasi
Dengan menelusuri sejarah dan perjalanannya
dari masa ke masa nampaklah bahwa demokrasi sesungguhnya adalah sebuah sistem
ideologi. Ia bukanlah sekedar prosedural
(tata cara teknis) sebagaimana yang dikira kebanyakan orang. Demokrasi tidak bisa ditinjau hanya dari sisi
prosedur pemilihan kepala negara, kepala daerah atau lembaga perwakilan rakyat
saja, apalagi jika dinilai sama dengan musyawarah hanya karena ada proses
pemungutan suara . Perkara-perkara
tersebut sesungguhnya hanyalah tatacara/prosedur yang biasa dipakai sistem
demokrasi. Demokrasi memiliki konsep,
tata nilai, pandangan kehidupan dan berbagai tata cara pelaksanaannya. Dari
sepak terjangnya, sistem demokrasi ini melekat kuat pada ideologi sekulerisme
kapitalisme. Inilah fakta demokrasi.
Sebagai sebuah konsep yang dilahirkan dari
akal manusia, demokrasi dimaknai secara beragam oleh banyak pemikir. Salah satunya menyebutkan bahwa demokrasi adalah
sebuah ideologi yang ditata dengan
memadukan nilai-nilai liberal: kebebasan
individu, persamaan, martabat dan persaudaraan, rule of law serta proses politik yang demokratis (The
International Relation Dictionary, Jack
C. Plano).
Sementara Abraham Lincoln lebih senang
menyebut demokrasi sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Teori kerakyatan ini lebih memasyarakat sejalan
dengan peristiwa yang melatar belakanginya.
Kekuasaan diktator para raja berhasil ditumbangkan untuk kemudian
diserahkan kepada rakyat. Demokrasi
menghendaki rakyatlah yang menjadi pemilik kekuasaan dan kedaulatan. Sementara penguasa hanyalah pelaksana
kehendak rakyat. Inilah sistem yang
terlihat indah dan menjanjikan kebaikan.
Namun, bagaimanakah implementasinya saat ini?
Implementasi Demokrasi
Sebagai sistem yang berporos pada rakyat, demokrasi
tidak hanya menjadikan kekuasaan di tangan rakyat. Namun, juga menjadikan asas kedaulatan di
tangan rakyat. Hal ini membawa
konsekuensi bahwa rakyat (manusia) sebagai sumber hukum. Rakyat berwenang membuat hukum yang akan diterapkan negara. Rakyat pula yang menjadi penentu kebijakan dan arah negara.
Dalam perjalanannya, meski rakyat yang diserahi
kedaulatan, namun faktanya hanya kalangan tertentu saja dari rakyat yang
memiliki pengaruh di tingkat kebijakan, bukan keseluruhan rakyat. Siapakah mereka? Dulu, ketika demokrasi muncul untuk pertama
kalinya yaitu pasca revolusi Perancis, kendali kekuasaan berada di tangan para intelektual dan orang-orang bermodal (borjuis/kapitalis). Pada akhirnya kebijakan
negara pun lebih
banyak diarahkan untuk kepentingan kelompok tersebut
(yaitu para kapitalis).
Adapun kini, di negara demokrasi manapun,
kelompok kapitalis pula yang menjadi pemilik kekuasaan bahkan kedaulatan. Mayoritas rakyat dipaksa untuk mengikuti
suara segelintir orang yang mampu membeli suara rakyat tersebut. Itulah
demokrasi yang menyerahkan segala urusannya kepada rakyat. Maka kelompok rakyat yang dianggap kuatlah
(para kapitalis) yang akan menguasai haluan ke mana negara menuju. Mayoritas
kaum Muslim Indonesia ternyata berada dalam posisi tidak
beruntung. Seperti
negara kapitalis lain, Indonesia pun lebih dikuasai oleh kelompok
minoritas, terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal
(kapital).
Ironinya, pendukung demokrasi sangat bangga dengan menyatakan bahwa dalam demokrasi
setiap keputusan yang diambil adalah berdasarkan suara mayoritas rakyat. Padahal, kenyataannya tidaklah begitu. Yang terjadi, selama ini para
kapitalis telah berhasil mempengaruhi keputusan parlemen dalam melahirkan
undang-undang. Bahkan tak hanya para
kapitalis dalam negeri, korporat asing pun turut memainkan peran dalam legislasi
UU. Hingga kini, banyak sekali hasil legislasi
lembaga perwakilan rakyat yang bermasalah dan dinilai menguntungkan pihak
tertentu serta merugikan rakyat. Seperti,
UU Pasar Modal, UU Perseroan Terbatas, UU Penanaman Modal, UU Otda, UU
Kelistrikan, UU Migas, UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Perlindungan Konsumen, UU Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Hak Atas Kekayaan Intelektual, UU Sumber
Daya Air, UU Minerba, dan sebagainya.
Bukti-bukti tersebut mengindikasikan bahwa
demokrasi dengan asas kedaulatan di tangan rakyat, telah melahirkan
kediktatoran kaum kapitalis kepada rakyat itu sendiri. Mengapa demokrasi bisa melahirkan
sistem korup yang berpihak pada pemilik modal, bukan rakyat? Demokrasi yang merupakan anak kapitalisme sama
saja dalam memandang masalah uang atau modal.
Selama ini materi itulah yang paling mempengaruhi kepentingan manusia. Segala sesuatu bisa dibeli dengan uang. Kepentingan rakyat pun bisa ditukar dengan
uang. Sebagaimana yang kita ketahui, biaya penyelenggaraan
pesta demokrasi memakan dana yang amat besar.
Dan hal itu membawa efek berkelanjutan bagi para pemimpin dan orang-orang
yang duduk dalam lembaga legislasi hasil pesta demokrasi. Para pemimpin yang terpilih tentu telah
menghabiskan banyak modal untuk kampanye dan sebagainya. Agar semua biaya itu tertutupi, mereka
akhirnya bekerja sama dengan para pemilik modal. Maka lahirlah berbagai perundang-undangan
yang pro kapitalis (pemilik modal). Suap
menyuap di lembaga parlemen pun menjadi hal lumrah dalam sistem demokrasi. Inilah bentuk perselingkuhan antara elit politik dan pemilik modal. Elit politik membutuhkan modal dan pemilik modal
membutuhkan elit politik Antara uang dan politik menyatu dalam berbagai
kepentingan. Keduanya menciptakan lingkaran syaitan ; money to politic dan politic to money. Intinya, politik dapat
dikendalikan oleh uang sebagaimana uang pun dapat dikendalikan oleh
politik. Ketika keduanya menyatu, yang
diuntungkan tentu adalah mereka yang memiliki uang. Oleh karena itu, lahirnya kebijakan yang pro
pemilik uang (kapitalis) adalah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Sementara rakyat kebanyakan hanya gigit jari
dan menjadi tumbal atas kecurangan para elitis dan pemilik modal.
Berikut beberapa bukti mahalnya biaya demokrasi.
Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, "Minimal biaya yang dikeluarkan
seorang calon Rp 20 miliar, akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa
sampai Rp 100 hingga Rp 150 miliar. Kalau ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, berapa lagi yang
harus dicari. (kompas.com,
5/7/2010).
Dan selanjutnya, lahirlah para pejabat dengan penghasilan
fantastis selama menjadi kepala daerah. Sebagai
contoh, gubernur Provinsi Jawa Barat mendapat “penghasilan” Rp 603 juta dan wakil gubernur Rp 584 juta (Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)16/12/2012).
Sementara itu, untuk menjadi calon anggota
legislatif ‘diwajibkan’ membayar Rp 200-300 juta untuk mendapatkan "kursi
jadi", nomor urut satu dan dua. Sedangkan untuk calon anggota DPR harus
menyerahkan setoran uang Rp 400 juta. Sayang sekali, biaya mahal demokrasi tersebut
harus dibayar dengan keringat dan air mata rakyat. Korupsi menjamur. Sebab, tak ada cara lain untuk mengembalikan
modal kecuali dengan meminta tebusan dari para pemilik modal. "Tiap minggu ada tersangka baru. Dari
155 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi, 74 orang di antaranya adalah
gubernur," ungkap Gamawan (vivanews.com, 17/1/2011).
Lembaga perwakilan rakyat yang semestinya
melahirkan kebijakan pro rakyat, ternyata lebih menguntungkan pengusaha. UU yang dikeluarkan lebih banyak yang memuluskan
jalan bagi para pemilik modal untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Itulah perkawinan atau kartel politik dan pengusaha
(tempointeraktif.com, 18/5/2010). Bahkan
Sri Mulyani mengakui, bahwa untuk mendapatkan dana luar biasa itu, mau tidak
mau, kandidat harus "berkolaborasi" dengan sumber finansial. Kandidat di tingkat daerah, tak mungkin
kolaborasi pendanaan dibayar dari penghasilan. Maka satu-satunya cara yang memungkinkan yakni
melalui jual beli kebijakan.
Di negara yang
menganut demokrasi, suara terbanyak
anggota Dewan Perwakilan Rakyat menentukan lolos tidaknya sebuah
kebijakan. Dengan kata lain kebijakan
akan diterapkan bukan karena pro rakyat, tapi akan dianggap sah manakala sesuai
dengan kehendak mayoritas anggota Dewan.
Padahal bukti menunjukkan bahwa mereka yang semestinya menjadi wakil
rakyat dalam menyalurkan aspirasi, dan sejatinya menjadi pihak yang terdepan
dalam membela kepentingan rakyat yang diwakilinya, ternyata mereka justru
menjadi kaki tangan para pemilik modal yang telah mendanai atau diharapkan bisa
mengembalikan rupiah yang telah dikeluarkan.
Negara ini seakan menjadi milik mereka. Kekayaan rakyat tergadaikan oleh penguasa
yang korup dan pengusaha (pemodal baik lokal maupun asing) yang serakah. Efisiensi dan peningkatan investasi
menjadi senjata untuk memuluskan kebijakan privatisasi semua
milik bangsa ini. Akibatnya, sebagian
besar kekayaan negeri ini dikuasai oleh swasta (asing). Sebagai contoh, kekayaan tambang yang
melimpah mayoritas sahamnya dikuasai asing, cevron (44%) sementara Pertamina
dan mitra hanya 16%, dan sisanya oleh perusahaan asing lainnya. Dampak berikutnya adalah penderitaan rakyat
yang terus berlangsung. Mengapa
demikian? Karena rakyat tidak bisa menikmati kekayaan miliknya sendiri, tetapi
justru harus rela membeli miliknya tersebut dari swasta dan asing yang telah
merampoknya. Alih-alih hidup sejahtera,
malah lilitan kemiskinan yang kian mencengkeram. Itulah harga yang harus dibayar rakyat akibat demokrasi-liberal. Indonesia, yang sering dipuji lebih
demokratis pada masa reformasi, ternyata mayoritas rakyatnya jauh dari
sejahtera. Sebab, kemiskinan dan
eksploitasi ekonomi telah menjadi warna khas rakyat Indonesia sekhas warna
demokrasi yang diembannya.
Pelibatan
Perempuan Atasi Kemiskinan
Dunia kini semakin
dicengkram berbagai krisis dan kemiskinan akibat kapitalisme global dan demokrasi.
Semestinya fakta ini semakin menyadarkan kita semua bahwa demokrasi terbukti merupakan
sistem yang rusak dan merusak kehidupan manusia. Demokrasi mustahil menyejahterakan
manusia. Namun ternyata, para penganut
faham demokrasi kapitalis ini belum memiliki kesadaran tersebut.
Alih-alih mengganti sistem, mereka malah
memunculkan analisa keliru agar perempuan terlibat
aktif dalam penanganan masalah dunia. Komisaris
Tinggi PBB Urusan HAM bahkan menyatakan
bahwa kegagalan mengkapitalisasi potensi perempuan merupakan masalah global. Ini berarti, perempuan dianggap bermasalah
jika mereka tidak terlibat aktif dalam mengatasi kemiskinan dunia.
Keinginan memberdayakan perempuan secara
ekonomi juga tampak dalam Konferensi Tingkat Menteri OKI ke 4. Pertemuan ini telah menghasilkan “Jakarta Declaration” yang
difokuskan pada supaya menciptakan enabling Environment yang dapat memperkuat peran dan
partisipasi perempuan di bidang ekonomi. Indonesia didaulat menjadi role model
bagi negeri muslim lain dalam Pemberdayaan Ekonomi
Perempuan (PEP).
Demikianlah, demokrasi telah menyeret
perempuan untuk terjun menanggulangi kemiskinan -problem dunia yang dihasilkan
oleh demokrasi itu sendiri. Padahal,
jargon pemberdayaan ekonomi perempuan bukanlah jalan tol bebas hambatan. Bergulirnya program ini di Indonesia telah
mulai menggesek sisi kritis perempuan. Dampak
buruk pelaksanaannya mulai menyentuh ranah keluarga dan masyarakat. Di sisi lain, demokrasi juga bertebar propaganda
pemberdayaan politik perempuan. Ada
anggapan bahwa penyelesaian problem-problem bangsa –termasuk problem-problem
perempuan- dapat diatasi jika mereka terjun secara masif dalam dunia
politik. Sebagaimana partisipasi dalam
bidang ekonomi, perempuan pun diberi akses dalam pengambilan kebijakan publik
ala demokrasi demi menyelesaikan ‘problem mereka’.
Dan kini, perempuan berbondong-bondong menempati
jabatan publik dan anggota parlemen ala demokrasi. Namun jangankan mereka berkiprah
menyelesaikan masalah bangsa, mereka justru menjadi menjadi tumbal sistem yang
rusak itu. Kasus Angelina Sondakh,
Miranda Gultom, Ratu Atut dan sebagainya menunjukkan bahwa keterlibatan
perempuan dalam bidang politik pada sistem demokrasi ini tidak banyak membawa
perubahan nyata. Tentu saja, itu karena
karakter demokrasi yang merusak.
Demokrasi pada akhirnya memakan korban siapapun, termasuk perempuan,
apapun propagandanya.
Harga Mahal Pemberdayaan Perempuan ala
Demokrasi
Pemberdayaan ekonomi dan politik perempuan
yang diusung demokrasi ternyata harus dbayar mahal. Berbagai kerugian tak hanya diderita ibu,
namun juga generasi dan umat secara keseluruhan.
Pertama, demokrasi telah menyerang peran
keibuan. Ibu yang hakikatnya dilahirkan
untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya harus menjadi mesin uang dan penghias
kursi jabatan strategis, tanpa pernah mendapatkan penjagaan kehormatan,
kesehatan, bahkan keamanan. Perempuan
dipaksa menjauh dari tanggung jawab terhadap anak-anaknya.
Kedua, pendidikan
anak tidak maksimal. Sebagai konsekuensi
dari hilangnya peran keibuan, maka pendidikan anak pun kian terabaikan. Adalah sebuah kesalahan jika menganggap bahwa
ketika perempuan mampu menambah ekonomi keluarga, maka secara langsung
menyelesaikan beban pendidikan anak.
Sebab, yang berperan dalam pendidikan anak bukan saja sekolah. Lingkungan keluarga, orang tua khususnya ibu
sangat menentukan apakah output sekolah sesuai harapan atau tidak. Tanpa kawalan ibu, apa yang telah dibentuk
sekolah menjadi sia-sia. Oleh karena
itu, jika peran ibu terabaikan tentu berkonsekuensi pengabaian pendidikan anak.
Ketiga, ketimpangan
relasi rumah tangga. Dampak lanjutan dari
pemberdayaan perempuan ala demokrasi adalah ancaman perceraian. Tatkala relasi suami isteri terganggu karena
padatnya aktivitas perempuan di luar tabiatnya dan lemahnya sistem yang
diterapkan, maka ancaman perceraian tidak dapat dihindarkan lagi. Tingginya angka gugat cerai di kota besar
(seperti Jakarta, dsb) disinyalir juga dipicu oleh kemandirian isteri secara
ekonomi dan politik.
Keempat, stres sosial. Tak dapat dipungkiri, bila tatanan keluarga
sudah terganggu, maka persoalan pasti akan merambat kepada gejolak
masyarakat. Tawuran pelajar maupun kelompok
(etnis), pelecehan seksual, gangguan keamanan dan ketertiban adalah hal lumrah
yang saat ini terjadi. Harga-harga
kebutuhan yang terus melambung, PHK yang terus terjadi sementara lapangan kerja
baru sulit didapatkan, dan kesenjangan yang kian melebar adalah beberapa
konsekuensi diterapkannya sistem
demokrasi kapitalis. Semua permasalahan ini bisa menjadi salah
satu pemicu stress sosial
Kelima, kehancuran
masyarakat. Bukan tidak mungkin jika
semua bahaya di atas tidak dikendalikan, maka kehancuran masyarakatlah yang
bakal terjadi. Ketidakseimbangan peran
masing-masing anggota masyarakat akan menimbulkan
kekacauan; saling serang, saling tipu, saling menguasai dan seterusnya hingga
mengancam keutuhan masyarakat.
Keenam, makin
mengokohkan sistem demokrasi dan ekonomi kapitalis. Banyak kalangan yang tidak menyadari bahaya
ini. Mereka tidak memahami bahwa jargon pemberdayaan
perempuan tersebut justru akan melanggengkan sistem demokrasi dan kapitalisme itu sendiri. Keterlibatan perempuan dalam perbaikan
kondisi negara, tanpa semangat mengubah sistem bahkan memanfaatkan demokrasi
sebagai media untuk keluar dari problem hakikatnya adalah bunuh diri
politik. Mereka dipaksa mati secara
perlahan, sementara ‘sang harimau’ kian mencengkeram.
Sungguh, demokrasi adalah sistem ilusi
yang penuh kedustaan. Ia tidak mampu menjamin
kesejahteraan perempuan sebagaimana yang dipropagandakan. Ia pun tidak mampu menjamin stabilitas masyarakat,
keadilan ekonomi, juga hak-hak dasar
manusia. Adalah
sebuah kebohongan jika demokrasi dikatakan berpihak kepada rakyat. Karena kenyataannya, pelaksanaan demokrasi
hanyalah berbuah masalah bagi rakyat.
Demokrasi dalam Krisis
Melihat sepak terjang demokrasi yang kian
memakan korban, rakyat yang memiliki kepekaan mulai merasakan muaknya demokrasi. The Guardian merujuk (6/07/2012) laporan Democratic Audid
memperingatkan tentang penurunan jangka panjang demokrasi di Inggris. Dalam
artikel British democracy in terminal
decline, warns report, disebutkan ada indikasi yang menunjukkan hal itu. Beberapa
yang menguatkan hal tersebut, diantaranya; pertama, menguatnya pengaruh korporasi (perusahaan
bisnis). Kedua, politisi yang semakin tidak mewakili konstituennya. Dan ketiga, semakin menurunnya tingkat
partisipasi masyarakat dalam pemilu bahkan untuk mendiskusikan
persoalan-persoalan kekinian sebagai bentuk kekecewaan terhadap demokrasi.
Penutup
Itulah demokrasi, sistem yang sebenarnya tak
pernah ramah kepada siapapun, termasuk perempuan. Maka, sudah selayaknya kaum perempuan menolak
demokrasi. Tak ada alasan logis untuk
tetap mempertahankan demokrasi karena demokrasi telah menyengsarakan perempuan.
Lantas dengan apa kaum muslim mengatur kehidupannya? Sungguh, Allah SWT telah menurunkan Islam
sebagai aturan hidup bermasyarakat. Dengan
Islam, perempuan dimuliakan. Dengan Islam pula kesejahteraan itu akan
diraih. Maka sudah saatnya kaum muslim mengganti
demokrasi dengan sistem Islam; sistem yang menjadikan kedaulatan di tangan
Syara’, sistem yang memberikan kekuasaan kepada khalifah yang ditunjuk kaum
muslim untuk menjalankan hukum-hukum Syariah.
Semoga kita semua berkontribusi penuh untuk mewujudkannya. []