Adalah
amanah, sesuatu yang seharusnya kita anggap sebagai cobaan, bukan sebagai
sebuah celah kesempatan yang sering kita persepsikan kepadanya. Padahal sahabat
Abu Bakar r.a telah mencontohkan kepada kita semua, betapa amanah adalah suatu
cobaan, yang untuknya hanya ada satu ucapan yang lazim, yakni Inna lillahi wainna ilaihi rojiun yang
beliau ucapkan saat ia diangkat sebagai khalifah menggantikan Rasulullah SAW.
Masing-masing
kita punya amanah. Besar ataupun kecil. Untuk diri sendiri ataupun terkait dengan
orang lain. Saat beranjak baligh, tiap-tiap kita mulai diamanahi makna hidup
sebagai pribadi mandiri yang bertanggung jawab. Pada setiap perbuatan yang ia
lakukan, baik atau buruk ia mendapatkan ganjaran langsung untuk dirinya, berupa
pahala ataupun dosa. Bahkan untuk menuju masa itu, Rasulullah mulia
mengamanahkan para orang tua untuk membiasakan melakukan kewajiban sejak usia
tujuh tahun, bahkan sebuah pemaksaan mutlak diperlukan saat sang anak menginjak
usia sepuluh tahun.
Beranjak
dewasa, masing-masing kita mulai ditambahi amanahnya, ditambahi muatannya. Para
orang tua menitipkan amanah pada anak-anaknya untuk menjadi orang-orang yang
berhasil. Kita pun mulai diamanahi peran-peran atau jabatan tertentu di tiap
aktivitas kita, sebagai ketua, pimpinan staf, ataupun anggota dan utusan. Lalu,
seiring umur kita, amanah itu bertambah saat kita menjadi seorang suami atau
seorang istri. Amanah sesama suami dan istri maupun amanah terhadap sang anak
nantinya. Semua amanah punya kajian dan ranahnya masing-masing. Tapi,
urgensinya tetap sama. Semua bermula dari konsekuensi hidup kita dan bermuara
pada tanggung jawab kita pada Zat Yang Maha Adil..
Untuk
itulah Allah SWT berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad)
dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan padamu,
sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah bahwa harta dan anak-anakmu itu hanyalah
sebagai cobaan, dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS.
Al-Anfal : 27-28).
Amanah
bukanlah ha yang main-main. Ia adalah sesuatau yang penting, terlebih bagi kita
sebagai muslim. Ia bukan hanya berdampak di dunia, tapi lebih besar lagi
pengaruhnya di kampung akhirat kelak. Dampaknyapun bukan hanya pada
pemegangnya, tapi juga bagi orang lain yang terkait dengan amanah tersebut.
Lihatlah petaka negeri kolam susu yang kian terpuruk akibat para pemimpinnya
yang jauh dari makna tanggung jawab, yang kian jatuh dalam derita yang tak
berniat untuk berujung. Inilah negeri dimana para pengkhianat dilahirkan,
dibentuk, dan dibina dalam kebiasaan yang mengakar turun temurun, dari orang
tua kepada anaknya.
Karenanya
Rasulullah sejak awal mewanti-wanti kepada kita dengan sabdanya, "Jika amanah itu disia-siakan, maka
tunggulah saat-saat kehancurannya. Seorang sahabat bertanya, "Bagaimana menyia-nyiakan amanah itu?"
Rasulullah bersabda, "Jika diberikan
amanah itu pada yang bukan ahlinya." (HR. Bukhari)
Lihatlah
betapa amanah bukanlah hal yang main-main. Apa jadinya jika seorang anak tidak
amanah pada orang tuanya? Apa jadinya jika orang tua tidak amanah pada
anak-anaknya? Apa jadinya jika masing-masing jiwa tidak amanah pada dirinya
sendiri? Apa jadinya jika suami tidak amanah pada istrinya dan sebaliknya? Dan
apa jadinya jika seorang pemimpin, terlebih pemimpin umat, yang bergelut di
bidang da'wah, tidak amanah pada yang dipimpinnya?
Jika
ini terus terjadi. Jika para pengkhianatan ini terus dibiarkan dan terus
dilahirkan, maka sejatinya ini adalah sebuah kehancuran generasi. Bagaimana
tidak, jika tiap hari di belahan negeri ini terus dilahirkan dan dibentuk
jiwa-jiwa cikal bakal pengkhianat, maka tunggulah saja saatnya kehancuran
negeri ini.
Predikat
penghianat itu adalah sebutan yang diberikan Rasul pada kita yang
menyia-nyiakan amanah. Rasulullah SAW bersabda, "Tanda-tanda orang yang munafiq ada tiga macam. Bila dia
berbicara, ia berdusta. Bila ia berjanji,
ia tidak menepatinya. Dan bila ia dipercaya, ia berkhianat."
(HR. Bukhori). Bahkan lebih sesak lagi, orang yang tidak amanah disebut dengan
munafiq. Yang diembel-embeli dengan keburukan lainnya, seperti dusta dan tidak
tepat janji.
Maimun
bin Mihran mengatakan, "Ada tiga
cara untuk membedakan baik buruknya seseorang. Yaitu, bagaimana orang itu
memelihara amanah, bagaimana ia menepati janji dan beramah-tamahnya.
Sekarang,
kita renungkan lagi, Berapa banyak para pemimpin di negeri ini yang bergelar
munafiq. Berapa banyak di negeri ini yang bergelar pengkhianat. Naudzubillahi min dzalik. Maka sekali
lagi, ingat sabda Rasulullah, tunggulah saat kehancuran kita.
Para pemegang amanah
Bisa
dipastikan bahwa zaman gilang-gemilang adalah saat tiap-tiap jiwa adalah para
pemegang amanah yang baik. Bukan hanya para pemimpin, tapi setiap individunya.
Karena sejatinya tiap individu adalah pemimpin, bagi dirinya sendiri. Maka
pastilah tiap individu adalah para pemegang amanah.
Saat
gilang-gemilang itu adalah saat-saat dimana generasi awal Dien Islam ini
dibentuk, dimana langsung dibina oleh mentor yang paling amanah yang karenanya
ia digelari Al-Amin. Sifat amanah inilah yang kemudian terwariskan hingga para
penerusnya yang mudah-mudahan hingga saat ini. Bayangkan, karena sebuah amanah
inilah dua pertiga dunia yang diperintah Islam mampu menjadi negeri yang
makmur, adil, dan sejahtera.
Sahabat
Abu Bakar r.a dalam pidato penobatan dirinya sebagai Khalifah pengganti
Rasulullah berkata bahwa sifat jujur adalah amanah, sedangkan kebohongan itu
adalah pengkhianatan. Abu Bakar r.a tahu betul betapa junjungannya adalah orang
yang amanat menghargai amanah dan kejujuran. Maka sepatutnya Abu Bakar, dan
juga kita, mencontoh Beliau, Sang suri tauladan.
Dalam
riwayat Dailami, Rasulullah bersabda,
"Amanah itu mendatangkan rezeki, sedangkan khianat mendatangkan
kemiskinan." Lihatlah, betapa sebuah amanah bukan hanya penjaga peradaban,
tapi juga penjaga isi kantong kita masing-masing. Jika amanah itu dipegang
tentunya. Maka, telah jelas risalah yang dibawa anak Abdullah ini, bahwa
peradaban Islam dan dunia hanya akan terjaga jika dipegang oleh orang-orang
pembawa amanah yang mengerti benar konsekuensinya, baik di dunia maupun di
akhirat, baik secara pribadi maupun keumatan. SubhanAllah.
Ibnu
Taimiyah mengatakan dalam kitab As Siyaasah
Al Syar'iyyah bahwa karena kepemimpinan merupakan suatu amanah maka untuk
meraihnya harus dengan cara yang benar, jujur dan baik. Dan tugas yang
diamanahkan itu juga harus dilaksanakan dengan baik dan bijaksana. Karena itu
pula, dalam menunjuk seorang pemimpin bukanlah berdasarkan golongan dan
kekerabatan semata, tapi lebih mengutamakan keahlian, profesionalisme, dan
keaktifan. Peka dalam menerima solusi-solusi yang membangun atau merima
kritik-kritik yang menuju kepada perbaikan.
Dan
seharusnya para pemimpin, sang pemegang amanah dari umat adalah orang-orang
yang seperti disebutkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya, "Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami telah mewahyukan kepada mereka
untuk mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan selalu
menyembah (mengabdi) kepada Kami." (QS. Al-Anbiya : 73)
Begitulah,
amanah para pemegang amanah. Bukan hanya
para pemimpin umat, tapi juga amanah para pemimpin diri sendiri. Amanah yang
apabila dipegang dengan sebenar-benarnya, maka hasilnya adalah bangkitnya
peradaban Islam. Kembalinya cahaya Islam ke muka bumi. Dan sekali lagi
cita-cita kita untuk memiliki sebuah pemerintahan Islam di bumi Allah ini akan
terwujud, jika saja para pemegang amanah adalah jiwa-jiwa yang paham betul
keindahan balasan di surga dan kemirisan balasan di akhirat. Ada sebuah riwayat
dari Abdullah bin Mas'ud bagi kita para pemegang amanah.
"Berjuang di jalan
Allah akan menghapuskan segala dosa, kecuali penyalahgunaan amanah."
Ia melanjutkan bahwa pada hari kiamat orang yang berjihad di jalan Allah akan diminta
membayar hutangnya berupa amanah. Orang itu menjawab, Ya Tuhan, bagaimana
mungkin hal itu bisa dilakukan sedangkan kehidupan dunia telah berakhir."
Allah berfirman, "Bawa dan masukkan
dia ke neraka." Pada saat yang bersamaan, sejumlah amanah akan tampil
dalam bentuk ketika dititipkan kepada orang itu di dunia dahulu. Dia melihat
dan seta merta mengenalnya. Dia akan menghampirinya dan minta dipanggul di
pundak orang itu hingga ia merasa cukup kemudian amanah itu akan turun dari
pundak orang itu. "Perbuatan ini
akan berlangsung terus dan tidak akan berakhir," ujar Ibnu Mas'ud.
Selanjutnya Abdullah bin Mas'ud mengatakan bahwa sholat merupakan suatu amanah,
mengambil air wudhu juga amanah, menimbang dan mengukur juga amanah. Amanah
yang paling besar tanggung jawabnya adalah amanah yang berupa titipan harta
benda kepada seseorang. Dan kelak catatan panjang tentang amanah itu akan
diungkap.
Peradaban itu bukan utopi
Menjadi
harapan kita semua untuk kembali pada peradaban Islam dahulu. Tentu saja
menjadi harapan kita pula untuk memiliki kondisi masyarakat para pemegang
amanah.
Saat-saat
dimana tiap jiwa sadar akan amanah yang dipikulnya. Seperti kisah-kisah nyata
yang pernah terjadi sewaktu Islam diterapkan secara totaliter. Seperti pada
saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah didatangi putranya ketika dia berada
di kantornya. Putranya kemudian bercerita tentang keluarga dan masalah yang
terjadi di rumah. Seketika itu, Umar mematikan lampu ruangan. Putra Umar
keheranan dan bertanya kenapa sang ayah mematikan lampu sehingga hanya
berbicara dalam ruangan yang gelap. Dengan sederhana sang ayah menjawab bahwa
lampu yang digunakan ini adalah amanah dari rakyat yang hanya dipergunakan
untuk kepentingan pemerintah bukan urusan keluarga.
Kisah
mengharukan lain terjadi saat Khalifah Umar bin Khattab merasa sedih dan
mencari tahu apa yang menyebabkan daun di kebun milik umat Islam saat itu
rontok. Padahal itu hanyalah sehelai daun. Tapi, bagi Umar, kepemimpinannya
bukan hanya amanah pada umat muslim saat itu, namun juga pada makhluk hidup
lainnya. Termasuk dedaunan yang harus ia ketahui kondisinya.
Amanah
pun mampu membawa keadilan. Seperti yang dicontohkan Hakim Syuraih di era
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dalam perang Shiffin, Khalifah Ali
bin Abi Thalib kehilangan baju besinya, kemudian ia melihat baju besi itu di
tangan seorang Yahudi. Khalifah Ali mengatakan pada orang Yahudi tersebut bahwa
baju besi itu adalah miliknya tetapi Yahudi itu mengatakan bahwa ia sudah
memiliki baju besi tersebut sebelum perang Shiffin meletus. Perkara itu
kemudian disampaikan ke pengadilan. Hakim negara, Syuraih mengadili perkara
ini. Oleh Hakim Syuraih, Khalifah Ali disuruh mengajukan saksi bukan dari
kalangan keluarga tetapi Khalifah Ali tidak bisa mengajukannya. Orang Yahudi itu
pun kemudian menang perkara karena Khalifah Ali tidak bisa mengajukan saksi.
Sebenarnya Hakim Syuraih yakin bahwa baju besi itu milik Khalifah Ali tetapi ia
menjalankan hukum dengan sebaik-baiknya. Khalifah Ali pun tidak menggunakan
kekuasaannya untuk memenangkan perkara. Hal inimembuat orang Yahudi itu takjub
akan keadilan Islam. Kemudian orang Yahudi itu pun masuk Islam.
Masih
banyak contoh-contoh yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita. Bagaimana
mereka memelihara amanah. Bagaimana mereka menyadari urgensi amanah. Bahwa
amanah bukanlah hal yang main-main. Bahwa amanah bukanlah sesuatu yang bisa
dibangga-banggakan, seperti sekarang ini dimana orang berbondong-bondong
mengadakan pesta pira sesaat setelah dilantik pada jabatan atau posisi tertentu.
Amanah
yang kita pikul, baik itu amanah pribadi maupun keumatan, jelas akan dimintai
pertanggungjawabannya oleh Dzat Maha Adil. Maka, berpikirlah bahwa kita
menunaikan amanah bukan hanya untuk menjaga kestabilan kehidupan di dunia, tapi
lebih besar lagi, yaitu nasib kita di akhirat nanti.
Dan,
negeri ini, negeri yang diharapkan oleh seluruh umat muslim di dunia untuk
menunjukkan gigi keislamannya, membutuhkan kita. Negeri ini membutuhkan
jiwa-jiwa kita yang senantiasa siap menerima amanah dengan segala
konsekwensinya dan tahu betul bagaimana menjalankan amanah tersebut.
Negeri
ini butuh jiwa-jiwa kita yang paham betul karakteristik kemampuan masing-masing
sehingga tidak semena-mena mengambil lahan amanah yang bukan kemampuan kita.
Negeri ini butuh tangan-tangan kita yang menjalankan amanah bukan untuk
kepentingan pribadi saja, tapi juga untuk keumatan dan kehidupan akhirat nanti.
Dan, semua itu kembali pada kita. Kita ditantang Allah untuk memasuki surga-Nya
yang mahal dengan memikul amanah-amanah yang kita pegang. Dan jika kita ingin
Islam kembali pada relnya, kejayaan Islam, maka sadarilah bahwa itu semua
bergantung pada kita. Semua bergantung pada amanah-amanah yang kita pikul.
Apapun itu. Sebesar apapun itu. Walaupun kita hanya sebagai baut dari sebuah
pondasi peradaban agung. Tapi yakinlah, karena kita-lah generasi-generasi
pengubah, generasi pembaharu. Generasi yang diharapkan oleh jutaan pasang nyawa
di bumi ini. Generasi yang merindukan perjumpaan dengan Allah, yang
ditunggu-tunggu dan dirindukan oleh surga Allah. Wallahu a’lam bisshowab
Disadur dari Majalah
Kautsar Edisi 02/Vol. 01/Rabiul Awwal 1425 H