Konflik Wamena: Bukti Kegagalan Konsep Persatuan ala Nation State
nasionalisme
,
Opini
,
wamena
Oleh: Nurjian Begum Amir , alumni fakultas Psikologi di kampus Bandung
Sebuah
kabar memprihatinkan warganet di laman Facebook tengah viral. Mengabarkan
kondisi langsung yang dialami seorang warga di tengah kerusuhan yang terjadi di
Papua. Beliau seorang dosen salah sau perguruan tinggi negeri di Papua. Hari
itu beliau bersembunyi di tengah kejaran orang Papua yang membidik pendatang.
Tak tahu apa yang akan terjadi, yang penting bisa menyelamatkan diri. Terlintas
dalam benak untuk lebih dulu bunuh diri daripada lebih dulu dizalimi. Kabarnya,
pemicu awalnya karena hoax yang beredar bahwa adanya ucapan rasis dari seorang
guru. Namun aparat setempat memastikan bahwa itu hanyalah berita bohong.
Problematika
Papua hari ini nyatanya bukan kali pertama terjadi. Isu lain tentang inginnya
kemerdekaan Papua justru sudah lebih lama terjadi. Berbagai solusi telah
ditawarkan. Namun tidak menghasilkan solusi yang berarti.
Akhirnya kita
perlu merenungkan kembali, bahwa konsep nation state state justru menjadi
bumerang tersendiri bagi bangsa ini. Karena justru perasaan tidak sebangsa,
se-ras, yang dirasakan oleh saudara-saudara di Papua menjadikan salah satu
alasan bahwa mereka bukanlah bagian dari negeri ini.
Seorang
pakar Psikologi politik bernama Emerson (1970) memaparkan bahwa nasionalisme
adalah pemahaman yang ada pada komunitas orang-orang yang hidup bersama, dalam
arti ganda bahwa mereka memiliki unsur-unsur warisan umum yang sangat penting
dan mereka memiliki takdir yang sama untuk masa depan. Pemahaman nasionalisme
juga sering kali menengarah pada keinginan untuk kemerdekaan. Namun jika itu
berada pada sebuah negara kesatuan, kemerdekaan satu pihak justru merupakan
disintegrasi bagi pihak lain. Itulah kenyataannya yang dialami antara Indonesia
dan Papua saat ini. Satu sisi apa yang perjuangan Papua adalah bagian dari ide
nasionalisme yang juga di pasarkan. Tapi di sisi lain itu merupakan ancaman
disintegrasi bagi negara Indonesia sendiri. Akhirnya kita perlu merenungkan
kembali, kiranya konsep apa yang benar-benar menghasilkan persatuan hakiki.
Konflik
Papua juga menunjukkan bahwa Indonesia
butuh konsep mendasar yang dapat benar-benar mempersatukan Indonesia
tanpa terbatasi oleh perbedaan alamiah seperti ras, bahasa, suku, tempat lahir,
dan sebagainya. Karena perbedaan yang lahir dari kondisi alamiah memang tidak
bisa dihindarkan. Sudah sunatullah yang harus kita terima. Namun tidak lantas
hal tersebut menjadi alasan untuk tidak bersatunya di atas perbedaan itu.
Karena sejatinya persatuan itu sangat mungkin terwujud walaupun terdapat
perbedaan alamiah.
Sejarah
membuktikan terdapat sebuah peradaban yang berhasil meleburkan bangsa-bangsa
2/3 belahan dunia. Dari Asia, Afrika, Eropa. Berlangsung 1400 lamanya. Itulah
peradaban Islam yang diemban oleh rasullullah Muhammad SAW dan umatnya. Semua
itu dapat terwujud ketika Islam menjadi ideologi yang diterapkan masyarakat
dalam sistem kehidupannya. Sebuah way of life yang dibangun di atas aqidah
Islam, yang meniscayakan persatuan dan tetap mengakui perbedaan alamiah sebagai
sebuah bukti kekuasaannya. Sebagaimana firman Allah tentang niscayanya
perbedaan :
Hai
manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al-Hujurat 13)
Rahasia
mengapa Islam bisa mempersatukan manusia yang berbeda ras,suku,bangsa bahkan
yang berbeda akidah bisa melebur dengan masyarakat Islam diantaranya sebagai
berikut:
Pertama,
Islam sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menentramkan hati , hal
ini tampak pada hukum Islam yang mengatur berbagai dimensi kehidupan manusia yg
tidak bertentangan dengan sifat kemanusiaannya.
Kedua,
Islam adalah agama yang akidahnya bersifat rasional. Ide-ide maupun hukum-hukumnya
bersifat pemikiran. Islam mewajibkan pemeluknya untuk beriman melalui proses
berpikir dan memahami hukum-hukumnya dengan proses berpikir pula. Tidak
dibenarkan pula untuk memaksa warga non-Muslim berpidah keyakinan walau Islam
menjadi agama mayoritas penduduk di sebuah negeri karena mereka harus diseru
secara pemikiran dan disertai dengan kesadaran.
Ketiga,
Kaum Muslim membebaskan berbagai negeri untuk mengemban dakwah Islam dan
menyebarluaskannya di negeri tersebut. Karena itu, mereka merasa sebagai
duta-duta Allah yang membawa rahmat dan hidayah. Mereka masuk ke suatu negeri
dan memerintahnya dengan Pemerintahan Islam. Dengan hanya masuknya penduduk
negeri tersebut sebagai ahlu dzimmah, maka hak dan kewajibannya sama dengan
kaum Muslim. Negeri yang dibebaskan tersebut juga memiliki hak dan kewajiban
dalam negara yang sama dengan negeri lainnya dari negeri-negeri kaum Muslim,
bahkan menjadi bagian darinya. Hal ini karena sistem pemerintahan dalam Islam
adalah kesatuan. Dengan demikian penduduk negeri yang dibebaskan tidak merasa
bahwa mereka dijajah, dan tidak sedikit pun mencium aroma penjajahan. Karena
itu, tidak mengherankan bahwa manusia menerima Islam setelah menyaksikan secara
praktis hakikat Islam dalam tatacara yang digunakan oleh kaum Muslim dalam
menjalankan pemerintahannya.
Keempat,
Islam memerintahkan adanya jihad dan pembebasan negeri-negeri, sehingga
memberikan kesempatan kepada manusia untuk memahami Islam. Juga menuntut adanya
pemberian kebebasan kepada manusia untuk memilih. Jika menghendaki Islam,
mereka dapat memeluknya. Jika tidak, mereka dapat tetap dalam agamanya dan
cukup bagi mereka tunduk kepada hukum-hukum Islam dalam urusan-urusan muamalah
dan uqubat. Semua itu agar tercapai keharmonisan dalam aktivitas manusia dengan
kesatuan peraturan yang memberikan solusi atas persoalan-persoalan hidup mereka
dan mengatur aktivitasnya. Di samping untuk menumbuhkan perasaan jiwa warga
non-Muslim bahwa kedudukan mereka di mata sistem Islam adalah sama dengan kaum
Muslim. Masyarakat bersama-sama menerapkan sistem yang diberlakukan di dalamnya
dan menikmati ketentraman serta berlindung di bawah naungan panji negara.
Kelima,
Islam mengharuskan agar memandang orang-orang yang diperintah dengan pandangan
kemanusiaan, bukan pandangan sektarian, kelompok, atau madzhab. Karena itu,
penerapan hukum-hukum terhadap seluruh komponen masyarakat harus sama, tidak
membedakan antara Muslim dan non-Muslim. Allah Swt. berfirman: Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (TQS.
AlMâidah [5]: 8).
“Agama
Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang
mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir
bahkan hingga Maroko dan Spanyol. Islam pun telah memiliki cita-cita mereka,
menguasai akhlaknya, membentuk kehidupan¬nya, dan membangkitkan harapan di
tengah-tengah mereka, yang meringankan urusan kehidupan maupun kesusahan
mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka sehingga
jumlah orang yang memeluknya dan ber¬pegang teguh padanya pada saat ini [1926]
sekitar 350 juta jiwa.
Agama
Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hati¬nya walaupun ada perbedaan
pendapat maupun latar belakang politik di antara mereka.” (Will Durant – The
Story of Civilization).
Dengan
demikian, jika Indonesia serius menginginkan terwujudnya persatuan dan
perdamaian di negeri ini. Tidak ada solusi lain selain menjadikan mabda Islam
di terapkan dalam tataran individu, masyarakat, dan negara. Karena ketika kita
ingin mendapatkan keberhasilan yang sama seperti yang telah dicapai peradaban
Islam, maka kita pun perlu menggunakan jalan yang sama dengan menerapkan Islam
secara kaffah dalam semua aspek kehidupan di Indonesia khususnya dan di dunia
umumnya.
Wallahu
Alam bi Showab