Oleh Nurjihan Begum Amir
(mantan aktivis mahasiswa kampus di Bandung )
Selasa, 24 September 2019 berlangsung
aksi mahasiswa dari berbagai penjuru negeri. Menyuarakan keresahan atas kondisi
negara. Mengingat bahwa beberapa waktu belakangan ini Indonesia tengah
dirundung berbagai masalah. Mulai dari kabut asap Riau dan Kalimantan,
kejanggalan kebijakan DPR atas UU KPK, serta sikap-sikap yang jauh dari
bertanggungjawab lainnya yang dilakukan pemerintah terhadap permasalahan
negara.
Tidak akan ada asap jika tak ada api. Setelah sekian lama dipertanyakan keberadaan sebagai agen perubahan, akhirnya mengemuka kembali. Memang hari ini permasalahan negara sudah di titik memprihatinkan.
Reaksi itu adalah wajar karena memang problem yang dirasakan benar-benar nampak di depan mata. Ketika kita sadar akan permasalahan tentu ada itikad untuk melakukan perubahan. Pergerakan ke arah perubahan tidak akan pernah terjadi tanpa diawali adanya kesadaran akan permasalahan. Seperti halnya orang yang tengah tidur di dalam rumah yang tengah kebakaran, tidak akan pernah bergerak mencari air guna memadamkan api, atau melarikan diri guna menyelamatkan dari api tanpa dia terlebih dahulu sadar dan bangun dari tidurnya.
Begitupun setiap aksi yang dilakukan
oleh manusia manapun tidak akan pernah tergerak tanpa adanya kesadaran. Maka
nampaknya aksi besar-besaran yang di lakukan oleh Mahasiswa ini bukti bahwa
permasalahan benar-benar nampak di depan mata. Sehingga diharapkan dengan
gerakan yang dilakukan, akan terjadi perubahan menunju kondisi yang lebih baik.
Gerakan
mahasiswa mulai menggeliat kembali memprotes kebijakan penguasa ,namun
kesadaran saja dari elemen mahasiswa ini tidak cukup tanpa memliki visi yang ideologis.
Pasalnya, tidak jarang, gerakan mahasiswa ada yang cenderung emosional dan
reaktif. Nyaris tanpa visi. Apalagi visi yang ideologis. Gerakan reformasi yang
sukses menjatuhkan rezim Soeharto bisa dijadikan contoh. Siapapun yang cermat
pasti mengakui bahwa bersatunya hampir seluruh elemen gerakan mahasiswa saat
itu semata-mata lebih karena satu faktor, yakni musuh bersama bernama Soeharto,
bukan karena perlunya mengganti sistem yang sudah sangat bobrok. Artinya,
mereka lebih condong hanya mengubah rezim ketimbang mengganti sistem yang
menjadi pijakannya.
Ini membuktikan bahwa politik/gerakan
mahasiswa saat itu seolah tidak bervisi. Apalagi setelah Soeharto jatuh, tidak
sedikit elemen gerakan mahasiswa yang ‘istirahat’. Seolah-olah perjuangan sudah
selesai. Wajar jika lebih dari 20 tahun masa Reformasi keadaan bukan bertambah
baik, malah makin memburuk. Masa Reformasi yang telah melahirkan 5 (lima)
presiden—Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan Jokowi—terbukti tidak menghasilkan
perubahan apa-apa selain krisis yang bertambah parah.
Ironisnya, politik/gerakan mahasiswa yang tanpa visi ini terulang kembali pada masa-masa reformasi. Contoh dalam kasus korupsi. Banyak elemen gerakan mahasiswa yang hanya menghendaki para koruptor dihukum. Kini mereka pun hanya memprotes revisi UU KPK yang dituding bakal melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi. Padahal korupsi hanyalah salah satu bagian saja dari problematika bangsa ini. Pada saat yang sama, sedikit sekali dari mereka yang mengkritisi berbagai kelemahan hukum dan perundang-undangan di Indonesia sekaligus kebobrokan sistem peradilan kita. Tentu termasuk sistem kehidupan saat ini yang nyata-nyata sekular dan mengarah pada neoliberalisme. Misal, betapa sedikit mahasiswa yang kritis terhadap banyaknya UU liberal yang dihasilkan DPR/Pemerintah seperti UU SDA, UU Migas, UU. Minerba, UU Pendidikan Nasional, UU Penanaman Modal, RUU Intelijen/Keamanan Negara, dll.
Mereka kadang hanya mempersoalkan akibat, bukan sebab. Mereka mempersoalkan korupsi, tetapi melupakan akar persoalan korupsi. Di antaranya karena kelemahan sistem hukum (sekular) dan sistem pemerintahan (demokrasi) yang ada. Mereka mempersoalkan kemiskinan, tetapi mengabaikan akar kemiskinan. Di antaranya karena sebagian besar kekayaan rakyat sudah dikuasai pihak asing. Mereka mempersoalkan makin mahalnya pendidikan, tetapi tidak memahami bahwa itu terjadi karena adanya kebijakan industrialisasi pendidikan. Lebih dari itu, mereka sesungguhnya banyak yang tidak memahami bahwa semua itu harus diatasi dengan kembalinya negara dan bangsa ini ke ideologi Islam—ke akidah dan syariah Islam—dan bukan dengan tetap mempertahankan sistem status quo.
Ironisnya, politik/gerakan mahasiswa yang tanpa visi ini terulang kembali pada masa-masa reformasi. Contoh dalam kasus korupsi. Banyak elemen gerakan mahasiswa yang hanya menghendaki para koruptor dihukum. Kini mereka pun hanya memprotes revisi UU KPK yang dituding bakal melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi. Padahal korupsi hanyalah salah satu bagian saja dari problematika bangsa ini. Pada saat yang sama, sedikit sekali dari mereka yang mengkritisi berbagai kelemahan hukum dan perundang-undangan di Indonesia sekaligus kebobrokan sistem peradilan kita. Tentu termasuk sistem kehidupan saat ini yang nyata-nyata sekular dan mengarah pada neoliberalisme. Misal, betapa sedikit mahasiswa yang kritis terhadap banyaknya UU liberal yang dihasilkan DPR/Pemerintah seperti UU SDA, UU Migas, UU. Minerba, UU Pendidikan Nasional, UU Penanaman Modal, RUU Intelijen/Keamanan Negara, dll.
Mereka kadang hanya mempersoalkan akibat, bukan sebab. Mereka mempersoalkan korupsi, tetapi melupakan akar persoalan korupsi. Di antaranya karena kelemahan sistem hukum (sekular) dan sistem pemerintahan (demokrasi) yang ada. Mereka mempersoalkan kemiskinan, tetapi mengabaikan akar kemiskinan. Di antaranya karena sebagian besar kekayaan rakyat sudah dikuasai pihak asing. Mereka mempersoalkan makin mahalnya pendidikan, tetapi tidak memahami bahwa itu terjadi karena adanya kebijakan industrialisasi pendidikan. Lebih dari itu, mereka sesungguhnya banyak yang tidak memahami bahwa semua itu harus diatasi dengan kembalinya negara dan bangsa ini ke ideologi Islam—ke akidah dan syariah Islam—dan bukan dengan tetap mempertahankan sistem status quo.
Alhasil, di sinilah pentingnya reideologi politik gerakan mahasiswa. Tentu agar politik/gerakan mahasiswa betul-betul berjalan di atas landasan visi dan ideologi perubahan sahih dan jelas. Kami cuma menawarkan jadikanlah Islam sebagai ideologi dari asas pergerakan anda wahai Mahasiswa agar aksi yg kalian lakukan tidak sia-sia karena mengkritik kebijakan tanpa menyentuh akar permasalahan (ideologi) hanya akan jatuh pada lubang pragmatis yang tidak menyelesaikan kondisi bangsa ini.