Oleh: Hadaina (Aktivis
Mahasiswa di Kampus Bandung)
Belum juga reda kasus kebakaran hutan di Riau
beberapa tahun silam. Seperti tidak ‘diizinkan’ beristirahat dari kasus semacam ini,
kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi baru-baru ini di
Kalimantan membuktikan ada upaya yang belum
mengakar untuk menangani petaka ini karena musibah terus berulang. Hampir
setiap tahun bencana kabut asap terjadi di pulau Sumatera dan Kalimantan. Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan enam provinsi di Indonesia
masuk kategori siaga darurat kebakaran hutan. Menurut Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (LHK) hingga September 2019, jumlah hutan dan lahan yang
terbakar di seluruh Indonesia mencapai 328.722 ha.
Mesti diperhatikan adalah mengenai dampak yang
terjadi. Seperti Kabut asap yang menyeliputi sejumlah wilayah, gangguan
kesehatan seperti ISPA, serta terganggunya proses belajar mengajar, dan bahkan
parahnya lagi menyebabkan kematian.
Menurut Satuan Tugas (Satgas) karhutla pusat
yang dikomando BNPB, untuk memadamkan karhutla di Kalimantan Selatan, harus
menerjunkan 1.200 personel. Penyebab kasus ini terdapat berbagai faktor, satu
diantaranya pembukaan lahan untuk pertanian ataupun untuk area perkebunan. Dari
pernyataan menteri LHK, Siti Nurbaya menyatakan, ada empat perusahaan asing
yang terlibat dalam pembakaran lahan di Kalimantan. Keempatnya merupakan
perusahaan asing yakni Malaysia dan Singapura.
D balik semua kejadian ini memanglah
disinyalir karena adanya dominasi kepentingan bisnis besar. Para perusahaan
besar membakar lahan untuk dijadikan perkebunan dengan skala besar dan masif
demi menghemat biaya. Koalisi Indonesia Bergerak menyebut bencana kebakaran
hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi selama ini dilakukan secara
terorganisasi. Aksi terorganisasi karhutla itu pun dituding telah diketahui
pemerintah pada dasarnya. Itu
dibakar tanpa ketahuan siapa yang pemiliknya. Tapi setelah 5, 6 bulan itu sudah
ada bibit-bibit sawit yang muncul. Itu temuan di lapangan. Pembakaran itu
diorganisir, pemerintah tahu," kata Koordinator Institut Hijau, Chalid
Muhammad dalam jumpa pers koalisi di kantor Seknas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi), Jakarta Selatan.
Gerbang kejahatan Karhutla karena negara menerapkan hak konsesi lahan
kepada para pengusaha yang menyebabkan fungsi, wewenang, dan tanggung jawab
negara menjadi tumpul. Paradigma
yang dibangun dalam memberikan hak konsesi kepada pengusaha ini jelas salah
karena kawasan hutan yang produktif harusnya dikelola dan dilestarikan tapi malah diberikan izin perkebunan hutan tanaman industri kepada korporasi. Ditambah lagi pemerintah tidak tegas dan
memberikan efek jera kepada pengusaha yang melanggar aturan. Temuan
Greenpeace menunjukkan sepanjang periode tersebut terdapat 10 konsesi
perusahaan kelapa sawit di Indonesia dengan total area terbakar terbesar yang
luput dari sanksi pemerintah. Sebanyak tujuh konsesi di antaranya menyumbang
titik api karhutla tahun ini. pemerintah bahkan tidak mencabut satu pun izin dari perusahaan
kebun sawit yang terkait Karhutla.
Kebijakan seperti ini
adalah hal wajar dalam sistem neoliberal yang sedang bercokol. Sistem ini meniscayakan pengelolaan kekayaan alam diserahkan kepada swasta,
penguasa hanya menjadi fasilitator dan regulator tentu yang menguntungkan pihak
korporasi. Berharap kebijakan akan pro rakyat seperti punuk merindukan bulan.
Bencana kebakaran hutan dan lahan hanya akan
bisa berakhir secara tuntas dengan sistem Islam. Dalam Islam, hutan
termasuk dalam kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki pribadi atau swasta.
Seperti sabda Rasulullah saw. “Kaum
muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang, air, dan api” (HR, Dawud dan
Ahmad) .
Para ulama terdahulu sepakat
bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput adalah milik
bersama, dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh seseorang atau hanya sekelompok
orang. Dengan demikian, berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadis di
atas bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang
dibutuhkan oleh orang banyak (komunitas), dan jika tidak ada, maka mereka akan
berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya.
Dari hadist tersebut jelas bagaimana Islam melarang adanya penguasaan
lahan hutan oleh korporasi. Hutan tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh
individu, beberapa individu, ataupun negara sekalipun. Individu, sekelompok
individu atau negara tidak boleh menghalangi individu atau masyarakat umum
memanfaatkannya, sebab hutan adalah milik mereka secara berserikat. Namun, agar
semua bisa mengakses dan mendapatkan manfaat dari hutan, negara mewakili
masyarakat mengatur pemanfaatannya, sehingga semua masyarakat bisa mengakses
dan mendapatkan manfaat secara adil dari hutan. Dengan paradigma tersebut, maka
kasus pembakaran hutan dan lahan secara liar akan lebih dapat diminimalisir
bahkan bisa ‘nol’ karena masyarakat juga menyadari bahwa hutan adalah milik
umum yang harus kita jaga kelestariannya.
Tidak hanya itu
dalam Islam ada sistem peradilan Islam, yakni ada Qadhi Hisbah yaitu hakim yang menangani penyelesaian dalam
masalah penyimpangan (mukhalafat) yang dapat membahayakan hak-hak rakyat
seperti gangguan terhadap lingkungan hidup (contoh: karhutla). Vonis dapat
dijatuhkan kepada pembakar hutan dan lahan di tempat kejadian perkara. Sehingga
bila Islam ditegakkan maka tidak ada kondisi krusial bencana darurat asap yang
saat ini terjadi yang mengancam jiwa manusia.
Jadi, solusi satu-satunya adalah dengan mengembalikan hutan dan lahan gambut
kepada syariat Penciptanya, bukan dikelola berdasarkan aturan buatan manusia yang telah terbukti
kelemahannya dan membuat kerusakan di bumi ini