Oleh: Agustina Suhardi (Pemerhati Masalah Sosial)
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah
kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan
bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS. ali Imran: 200)
Di
penghujung Desember tahun 2019 dan sampai pekan awal Januari 2020, situasi perairan Natuna masih memanas. Area laut
Natuna terletak di sebalah selatan Laut China selatan dan masuk ke dalam wilayah
Indonesia. Wilayah ini merupakan wilayah yang
berbatasan langsung dengan dunia internasional (www.kompas.com). Perairan Natuna merupakan
wilayah strategis yang menghubungkan 10 negara antara lain: China, Taiwan,
Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei dan
Filipina. Perairan tersebut memiliki kekayaan alam yang luar biasa berupa migas
sampai hasil perikanan. Potensi cadangan minyak mencapai 11 miliar barel, gas
alam mencapai 190 triliun kaki kubik dan hampir 10% kebutuhan ikan global. Khususnya
kekayaan perikanan diantaranya ikan pelagis kecil (621,5 ribu ton/tahun),
demersal (334,8 ribu ton/tahun), pelagis besar (66,1 ribu ton/tahun), ikan
karang (21,7 ribu ton/tahun), udang (11,9 ribu ton/tahun), cumi–cumi (2,7 ribu
ton/tahun), hingga lobster (500 ton/tahun) (https://www.cnbcindonesia.com/news/20200105155630-4-127762/berebut-natuna-militer-indonesia-atau-china-paling-kuat).
Kekayaan perikanan yang melimpah menarik banyak
nelayan asing untuk melaut ke perairan Natuna tidak terkecuali nelayan China. Banyak
pemberitaan menyebutkan Pemerintah RI telah melakukan protes kepada Pemerintah
China yang melanggar Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) di perairan Natuna.
Pelanggaran tersebut terkategori kegiatan illegal, unreported and
unregulated (IUU) fishing dan kedaulatan yang dilakukan oleh coast
guard atau penjaga pantai China di perairan Natuna (https://www.cnbcindonesia.com/news/20200104193648-4-127681/ini-kronologis-ri-protes-keras-klaim-china-soal-natuna). Coast guard
China tersebut mengawal beberapa kapal nelayan China
yang menggunakan pukat harimau guna menangkap
ikan. Padahal penggunaan pukat
harimau telah dilarang melalui peraturan
menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 (https://www.suara.com/partner/content/sukabumiupdate/2020/01/06/201404/panas-indonesia-china-tni-kirim-banyak-kapal-perang-besok-ke-natuna).
Apabila
ditelusuri sebelumnya bahwa konflik
Natuna antara Indonesia dengan China telah terjadi pada tahun 2016. Pada tahun
tersebut TNI-AL melakukan penembakan dan penangkapan kapal asal China karena berani
memasuki wilayah kedaulatan Indonesia. Effek dari tindakan TNI-AL tersebut
memunculkan nota protes dari Beijing yang mengklaim bahwa nelayan China telah
mencari ikan sejak lama di daerah tersebut
(https://www.law-justice.co/artikel/78676/kekuatan-perang-militer-china-27-juta-indonesia-800-ribu/). China menganggap tidak terdapat pelanggaran hukum internasional mengenai
Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention for the Law of the Sea/UNCLOS).
China mengklaim bahwa perairan Natuna termasuk dalam Nine Dash Line China berupa sembilan garis putus-putus yang
merupakan wilayah historis Laut China Selatan seluas 2 juta kilometer persegi
yang 90 persen di dalamnya sebagai hak maritimi negaranya, meskipun
wilayah-wilayah tersebut berjarak sampai 2.000 km dari China daratan.
Sebaliknya, UNCLOS 1982 tidak pernah mengakui garis-garis putus tersebut (https://tirto.id/babak-baru-konflik-indonesia-dan-cina-di-atas-perairan-natuna-eqov). Wilayah ZEE Indonesia sendiri telah ditetapkan melalui UNCLOS 1982
dan China sendiri merupakan salah satu anggota dari UNCLOS 1982. Konsekuensi
yang mesti ditanggung oleh China untuk bersedia menghormati dan menerima keputusan
UNCLOS 1982. Indonesia sendiri tidak pernah mengakui Nine Dash Line karena tidak memiliki alasan hukum UNCLOS 1982
(https://www.cnbcindonesia.com/news/20200104193648-4-127681/ini-kronologis-ri-protes-keras-klaim-china-soal-natuna).
Keberadaan
kapal coast guard China yang mengawal dan mendampingi para nelayan China
telah membuat para nelayan lokal Natuna menjadi takut mencari ikan di wilayah
tersebut (https://tirto.id/babak-baru-konflik-indonesia-dan-cina-di-atas-perairan-natuna-eqov). Kondisi tersebut memaksa TNI-AL untuk menambah kekuatan militer
dengan menggerakan empat KRI. Tujuannya supaya dapat memantau, mencegah, dan
menangkal upaya mengganggu kedaulatan wilayah (https://tirto.id/saat-prabowo-luhut-lembek-lawan-pencuri-ikan-dari-cina-di-natuna-eqK7?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Popular). Hikmahanto Juwana (Guru Besar Hubungan
Internasional Universitas Indonesia) menyatakan bahwa kehadiran fisik aparat
Indonesia sangat dibutuhkan dalam
mendampingi nelayan-nelayan lokal untuk memberikan rasa aman dan nyaman dalam
melaut. Hal tersebut penting dilakukan supaya kasus kekalahan Indonesia pada
1998 di Mahkamah Internasional yang memutuskan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi
bagian Malaysia tidak terjadi pula pada perairan Natuna (https://tirto.id/babak-baru-konflik-indonesia-dan-cina-di-atas-perairan-natuna-eqov). Bagaimana pun lepasnya pulau Ligitan
serta Sipadan termasuk Timor-Timor menghilangkan batas ZEE milik Indonesia. Indonesia sendiri berencana untuk mengirim 120
nelayan Pantura yang selanjutnya akan disusul oleh para nelayan dari wilayah lain ke perairan Natuna untuk turut menjaga
kedaulatan di wilayah Natuna (https://kumparan.com/kumparannews/nelayan-pantura-siap-dikirim-ke-natuna-kami-ingin-lindungi-nkri-1saYYnCWxiG).
Persoalan Natuna ini tidak dapat dipandang
remeh. Bahkan pernyataan dari pengajar
Hubungan Internasional, Dinna Wisnu bahwa kegiatan China di Natuna bukan
sesuatu yang insidental akan tetapi bagian dari skenario Belt and Road Initiative
(BRI). BRI berkaitan dengan perang
dagang China dengan AS dan peranan China di tingkat global (https://www.aa.com.tr/id/dunia/membaca-skenario-china-di-natuna/1693850). Indonesia sendiri telah menandatangani Memorandum of Understanding
(MoU) perihal BRI pada 25-27 April 2019 di Beijing, China. Skema yang
digunakan pada BRI berupa business to business (B-to-B) oleh para
pebisnis dari kedua negara (China-Indonesia) (https://tirto.id/ekspansi-proyek-obor-cina-indonesia-diminta-waspadai-jebakan-utang-dnpo). Walhasil,
menurut Wisnu bahwa sebenarnya China bermaksud mengecek loyalitas Indonesia sebagai mitra
kerjasama ekonomi dan investasi menggunakan cara dengan menghadirkan kapal di Natuna
tersebut. Ditambah lagi posisi Indonesia
sebagai Code of Conduct di ASEAN, ASEAN outlook Indo-Pasifik, dan menjadi bagian di Dewan Keamanan PBB (https://www.aa.com.tr/id/dunia/membaca-skenario-china-di-natuna/1693850). Kerja sama B to B ini berarti
kerjasama antar badan usaha yang secara langsung menangani berbagai proyek yang mendukung BRI sementara
pemerintah berperan sebagai fasilitator (https://www.medcom.id/ekonomi/makro/zNALmy3K-proyek-belt-and-road-initiatives-dipastikan-gunakan-skema-b-to-b).
Banyak pihak yang mengkhawatirkan respon Indonesia yang dianggap
bersikap lunak terhadap China terkait konflik
Natuna. Padahal armada TNI-AL telah
siap untuk menjaga perairan Natuna sebagai wilayah perbatasan bagian utara
Indonesia. Terlanjur, negara telah menfasilitasi para pebisnis (investor) untuk
membiayai berbagai proyek terkait BRI diantaranya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, proyek
PLTA Sungai Klayan, dan Pembangunan kawasan industri Tanah Kuning (https://www.cnbcindonesia.com/news/20190513181838-4-72178/apa-itu-obor-jalur-sutra-modern-china-yang-jadi-polemik-ri). Pada saat posisi pemerintah hanya sebagai
fasilitator pada BRI dengan pembangunan infrastruktur transportasi, listrik,
dan fasilitas umum lainnya menandakan reduksi peran penguasa dalam menyediakan fasilitas
publik. Wajar, jika akhirnya penguasa harus menyelamatkan berbagai investasi
yang masuk ke dalam negeri. Dengan kata lain merujuk pada istilah korporatokrasi
bahwa perusahaan-perusahaan besar (para
investor) yang mendominasi berbagai
kebijakan negara dengan cara mengendalikan pemerintahan. (https://kumparan.com/kumparannews/busyro-negara-sedang-bergeser-dari-demokrasi-ke-korporatokrasi). Inilah marabahaya dari penerapan system ekonomi kapitalisme
dengan paradigm reinventing government yang menomorsatukan para
korporat. Sesuatu yang dilematis, padahal di sisi lain kemandirian dan kedaulatan bangsa dalam
mempertahankan batas wilayah adalah sesuatu yang urgen. Lalu, sebenarnya
bagaimana pandangan Islam terkait konflik Natuna tersebut?
Kawasan Natuna sebagai bagian
wilayah Indonesia yang memiliki penduduk mayoritas muslim merupakan wilayah ribath atau dalam Islam dikenal sebagai perbatasan wilayah Islam yang wajib kifayah dijaga dari serangan musuh-musuh Islam. Penduduk atau
aparat militer yang menjaga wilayah perbatasan disebut murabith. Bahkan dikabarkan jika seorang murabith meninggal pada saat
melakukan ribath (menjaga wilayah perbatasan) maka amal perbuatannya akan senantiasa
berpahala, diberikan rizqi di surga kelak, serta tidak ditanya di dalam kubur
oleh malaikat munkar dan nakir (HR.
Muslim). Bahkan hadits lain diriwayatkan dari Bukhari-Muslim menyatakan bahwa satu
hari menjaga wilayah perbatasan itu lebih baik daripada dunia serta isinya.. Pahala
yang luar biasa tersebut memotivasi para shahabat Rasulullah SAW dan pejuang Islam
di masa lalu untuk mempertahankan wilayah, menjaga perbatasan dan pintu-pintu
masuk wilayah Islam dari serangan musuh-musuh Islam. Bukti konkret berupa
peninggalan benteng-benteng besar yang yang ditaklukan oleh para pemimpin umat
Islam di masa misalnya Qal’ah al-Umari di Tripoli, Qal’ah Ba’labak, Qal’ah
al-Umawiyyah di Anjar, dan sebagainya. Sistem pertahanan dan keamanan dibentuk
di wilayah perbatasan tersebut. Para murabith secara sukarela bahkan dapat
digaji oleh para khalifah (pemimpin umat Islam) untuk melakukan ribath. (https://ppilebanon.wordpress.com/news-and-articles/bulletin-pelangi/ribath-sistem-pertahanan-dan-keamanan-di-wilayah-islam/). Dengan demikian, kegiatan ribath ini tidak akan
pernah ada hubungannya dengan kepentingan para investor karena yang bersemayam pada
dada umat dan pemimpinnya adalah kewajiban untuk mempertahankan kedaulatan wilayah
dari rongrongan musuh (asing). Sikap dan prilaku yang ditunjukkan umat dan
pemimpin ini sebagai bukti ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah Muhammad
SAW. Jadi dalam konteks kekinian, kewajiban bagi Indonesia sebagai negeri yang berpenduduk
mayoritas muslim berkewajiban menjaga dan mempertahankan berbagai wilayah
perbatasan dari kepentingan asing-aseng termasuk perairan Natuna. Wallahu’allam
bisshawab.