Oleh:
Annisa Muktiana Wulandari
Kaum perempuan dan penyandang disabilitas saat ini cukup termarginalkan. Diperlukan upaya dan dorongan semua pihak agar kaum perempuan dan penyandang disabilitas ini mampu meningkatkan kapasitas keterampilan melalui pemanfaatan teknologi. Demikian diungkapkan Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Barat Atalia Ridwan Kamil saat membuka seminar bertajuk Tech to Impact yang digelar Kedutaan Inggris melalui UK-Indonesia Tech HUB di Bandung.
Dalam
acara Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak pada akhir tahun
lalu untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional bertajuk ”Mendengar
Suara Perempuan Penyandang Disabilitas agar Mandiri dan Berpartisipasi dalam
Pembangunan”, disebutkan bahwa perempuan disabilitas
mengalami hambatan dan diskriminasi baik
secara internal maupun eksternal, maka mereka harus sekolah agar bisa
berprestasi dan mandiri. Kemudian, dalam buku Hak Asasi Perempuan adalah Hak
Asasi Manusia disebutkan dalam kegiatan Convention
Watch dijelaskan bahwa perempuan telah mengalami diskriminasi, misalnya
dalam penghasilan, penghasilan perempuan cenderung lebih kecil dibanding
laki-laki. Lebih jauh, buruh perempuan dinilai tidak mau menuntut hak-haknya. Kenyataan
inilah yang menyebabkan perempuan dan disabilitas termarginalkan. Sehingga,
muncul program-program yang diinisiasi oleh pemerintah untuk meningkatkan
keterampilan perempuan dan disabilitas di bidang teknologi, dengan tujuan agara
mereka mampu mandiri menyejahterakan diri mereka. Merekapun bisa berdaya dan
turut memajukan usaha ekonomi kreatif.
Program
pemerintah untuk memajukan usaha ekonomi kreatif dengan sasaran utama yakni
kaum perempuan dan disabilitas justru mengesankan bahwa mereka adalah objek
pemanfaatan ekonomi. Mengapa demikian? Karena seharusnya mereka tidak menjadi
sasaran utama dalam memajukan ekonomi. Justru pemerintahlah yang harus berupaya
mengelola perekonomian dengan baik, sehingga terjadi keseimbangan ekonomi di
dalam masyarakat, yakni dengan mengelola SDA dengan bijak dan pendistribusian
kekayaan yang adil. Wajar, jika pada akhirnya perekonomian sistem saat ini,
yang diadopsi oleh banyak negara yakni sistem Kapitalisme telah gagal mengelola
perekonomian dengan benar, karena mereka berpijak pada siapa yang memiliki
modal besar, dialah yang berkuasa. Maka tak heran, ketika Inggris memiliki
pengalaman dan modal yang lebih dibanding Indonesia, Inggris mampu ‘menyetir’
kemana arah keuntungan itu didapat. Pada kenyataannya, perempuan lagilah yang
harus menjadi korban, dipasang digarda terdepan mengatasi ketimpangan ekonomi
yang diciptakan oleh sistem Kapitalisme. Negara mencari keuntungan dengan
tangan-tangan rakyatnya. Inilah negara korporatokrasi. Akankah kaum perempuan
dan disabilitas terjamin kesejahteraannya? Tentulah tidak.
Sebagai
muslim, kita harus memandang segala hal yang terjadi dengan kacamata Islam. Islam
memandang perempuan sebagai kaum yang mulia yang harus dilindungi dan dipenuhi
hak-haknya. Kaum perempuan bisa berprestasi dan berdaya tanpa harus menjadi
objek ekonomi. Disisi lain, disabilitas pun memiliki hak yang sama sebagai
warga negara. Mereka yang memiliki keterampilan akan didorong oleh negara untuk
memaksimalkan potensinya, namun bukan untuk alasan ekonomi, justru kaum
disabilitas menjadi subjek utama yang menerima kesejahteraan. Hanya Islam yang
mampu menyejahterakan kaum perempuan dan disabilitas. “Dan sesungguhnya telah
Kami muliakan anak-anak Adam.” (TQS. Al Israa’: 70). []