Salah satu problem yang dihadapi negeri ini adalah problem ketahanan pangan. Tingginya impor pangan dan konversi lahan pangan memberikan dampak secara langsung terhadap lemahnya gairah para petani untuk meningkatkan hasil produksinya. Sektor pertanian menjadi kurang diminati terlebih bagi para pemuda. Berbagai upaya dilakukan pemerintah demi meningkatkan ketahanan pangan, termasuk pemerintah Jawa Barat (Jabar) yang melirik potensi pesantren agar turut serta dalam mengembangkan sektor pertanian.
Potensi Pesantren
di Jawa Barat
Menurut Kang Uu,
wakil Gubernur Jawa Barat, dengan mengembangkan sektor pertanian, kemandirian
ekonomi ponpes di Jabar akan meningkat. Apalagi, ada sekitar 12.500 ponpes dan
4,5 juta santri di Jabar. "Ada komunitas lain yang harus didorong dalam
mendukung program pemerintah dalam kedaulatan pangan Jawa Barat, yaitu
komunitas para santri," kata Kang Uu di UPTD Balai Pengembangan Mekanisasi
Pertanian, Kab. Cianjur, Kamis (23/7/2020) (Ayo Bandung, 23/07/20).
Dalam rangka
mendorong perkembangan kemandrian pesantren, digagaslah sebuah program yang
bernama Santri Tani (Santani) mengingat pendidikan pesantren saat ini hanya
terfokus kepada aktifitas menimba ilmu, sementara kegiatan lainnya hanya
dilaksanakan sekedar untuk mengasah kemampuan tanpa adanya orientasi ke arah
bisnis. Hal inilah yang mendorong program Santani agar para santri diberdayakan
dan mampu mendatangkan keuntungan materi sehingga diharapkan berkontribusi
menguatkan ketahanan pangan negara ini.
Pergeseran
Fungsi Pesantren
Pada awal sejarah
lahirnya pesantren, di dalam buku Atlas Wali Songo karya Agus Sunyoto, kata
pesantren mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid-murid
yang belajar di pesantren. Bila dibedah lebih jauh, ‘pesantren’ berasal dari
kata santri. Oleh karena itu, untuk memahaminya kita harus membedah asal-usul
dan makna santri itu sendiri.
Berkaitan dengan
kata ‘santri’, ada beberapa sumber yang menyebutkan pemaknaan berbeda. Kata
Agus Sunyoto, kata ‘santri’ adalah adaptasi dari istilah sashtri yang bermakna
orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra). Sedangkan sumber lainnya
mengatakan, bahwa itu berasal dari bahasa Jawa cantrik yang berarti, orang yang
mengikuti gurunya kemanapun ia pergi. Sehingga paling tidak ada tiga unsur
dalam pesantren yaitu santri, kiai/guru dan pondok/padepokan .
Sistem
pendidikan ala pesantren yang menjadikan kiai sebagai pusat segala perkara
sempat meredup, kala perusahaan dagang Belanda (VOC) datang menjajah.
Masyarakat Islam yang taat seakan diasingkan. Para ulama yang diikuti
masyarakat dijauhkan pusat pemerintahan karena dianggap membawa potensi
terjadinya kerusuhan. Karena itu, pesantren sebagai pusat pendidikan Islam
akhirnya cenderung menyingkir dari pusat-pusat pemerintahan. Kiai dan
masyarakat berusaha membangun sendiri pusat-pusat pendidikan Islam di pedalaman
dengan memanfaatkan apa yang mereka punya (Good News From Indonesia, 30/04/20).
Demikianlah,
pergeseran fungsi pendidikan pesantren yang pada awalnya mendidik para
santrinya untuk memahami ajaran Islam secara kaaffah untuk diwujudkan dalam
interaksi di tengah umat sekaligus mampu memberikan solusi bagi setiap
persoalan. Berubahlah pesantren menjadi tempat menimba ilmu islam secara
teoritis yang mana cakupan kajiannya pun parsial semata. Sehingga wajar, output
yang dihasilkannya seringkali tidak mampu melihat masalah yang terjadi secara
tepat dan memecahkannya dengan Islam.
Dalam era
sekuler kapitalisme seperti saat ini, pendidikan pesantren baik tradisional
maupun modern tak luput dari pengaruh paham tersebut. Paham sekuler kapitalisme
pun mampu mengubah paradigma pendidikan pesantren menjadi paradigma sekuler
yang berorientasi kepada pencapaian manfaat secara material.
Ditambah lagi
dengan kebijakan pemerintah yang menerapkan sistem sekuler kapitalisme, negara
hanya berperan sebagai regulator bukan pengurus rakyat. Negara berlepas tangan
dari pemenuhan kebutuhan rakyat termasuk penyelenggaraan pendidikan di
pesantren-pesantren.
Dari sini bisa
kita pahami, program Santani yang ditujukan agar pesantren mampu memiliki
kemandirian ekonomi, sejalan dengan lepasnya tanggung jawab pemerintah dan
mengalihkannya kepada organisasi/lembaga. Visi pendidikan pesantren tidak lagi
membentuk para santri yang faqih fiddin, namun menjadi bagian dari upaya
menguatkan ketahanan pangan.
Padahal
seharusnya tanggung jawab membangun ketahanan pangan ada pada pemerintah
berdasarkan UU No. 18/2012 tentang Pangan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan.
Penerapan
Islam Kaaffah Mewujudkan Ketahanan Pangan
Islam memiliki
paradigma yang berbeda dengan sistem sekuler kapitalisme dalam mewujudkan
pemenuhan pangan rakyat. Dalam Islam, pemenuhan hajat pangan publik dijamin
sepenuhnya oleh negara. Sebab negara berfungsi sebagai raa-in (pelayan) dan
junnah (pelindung).
Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat
hidup rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan
Ahmad).
Dalam hadis
lainnya Rasulullah saw. menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai tempat
orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya….” (HR
Muslim).
Berdasarkan
paradigma ini, pemerintah (Khalifah) bertanggung jawab penuh untuk mewujudkan
ketahanan dan kedaulatan pangan. Wujudnya, negaralah yang menentukan arah
politik pangan dan menjalankannya dalam bentuk kebijakan praktis sesuai dengan
tuntunan syariah. Sehingga tidak akan terjadi pengalihan tanggungjawab kepada
lembaga, pesantren, misalnya.
Sementara pesantren akan tetap menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang akan melahirkan ulama mumpuni sekaligus memimpin umat dengan ilmu Islam kaaffah yang dimilikinya. Inilah yang seharusnya terjadi, pemimpin dan umat bahu membahu membangun peradaban mulia dengan menjadikan aqidah Islam sebagai asas peradaban dan syari’at Islam sebagai panduan hidupnya. Wallohu a’lam bish shawab